Rabu, 23 Oktober 2013

Cerpen "Takdir Senjaku"



Kelopak-kelopak bunga yang sengaja ditebarkan ini masih begitu segar. Aroma semerbak memenuhi indra penciumanku. Kutatap nisan yang menegak di hadapanku sekarang ini. Sedikit kujumput tanah dan menggenggamnya tanpa tenaga.
“Ibu ...”
Ucapku lirih seraya memejamkan mata dan memutar kilasan-kilasan memori yang pernah kulalui bersamanya. Sekarang dia terbujur kaku, sendirian, dan entah apa yang ia rasakan atau ia alami di sana. Aku tak tahu. Yang aku tahu kini aku sebatang kara di dunia ini.
Setelah cukup menata pikiran, mencerna dengan baik apa yang telah menimpaku, aku beranjak dari samping gundukan tanah yang berwarna cokelat kemerahan ini. Dua langkah. Empat langkah. Hingga langkahku yang kedelapan, aku berhenti sejenak dan menatap langit yang warnanya tak biru. Lagi-lagi kupejamkan mata, bersiap mengeluarkan sesuatu yang sejak tadi memang ingin aku keluarkan.
“Ibuu!! Kau dengar?!! Sekarang tidak ada lagi yang mengganggu hidupku! Kau dengar tidak?! Sekarang tidak ada lagi yang membuatku muak! Silakan mencapku sebagai anak durhaka! Aku tidak peduli! AKU TIDAK PEDULI!!!!”
Napasku tersengal-sengal setelah berhasil mengeluarkan semua cacian itu. Cacian yang sudah ingin aku keluarkan selama dua belas tahun terakhir. Tak kupedulikan tatapan heran beberapa orang yang juga berada di areal pemakaman ini. Sekali lagi, aku tak peduli.
***
Dua belas tahun yang lalu ...

“Ranti...!”
Tak kupedulikan panggilan wanita itu. Mata dan pikiranku masih terfokus pada selembar kertas yang warnanya sudah usang. Wanita itu, dia ibuku. Ibu yang begitu hebat karena dengan tangguhnya menjadi orangtua tunggal untukku selama lima belas tahun. Tapi itu anggapanku dulu, sebelum aku menemukan kenyataan pahit ini.

Aku tahu aku memang pelacur. Tapi aku yakin anak ini adalah anakmu. Dia kuberi nama Ranti. Nama yang cantik, bukan? Secantik parasnya. Kita besarkan dia bersama, Mas ....
Aku mohon kembalilah padaku.

***
Hujan memang selalu berhasil mengangatkan aku pada memori usang itu. Terlebih saat sendiri seperti sekarang ini. Secangkir kopi moka panas menjadi teman terbaikku sebagai seorang lajang yang tinggal sendirian di sebuah apartemen yang tidak terlalu mewah.
Aku sangat menikmati hidupku sebagai seorang editor majalah ternama sejak lima tahun terakhir. Dan aku merasa hidupku begitu sempurna setelah peristiwa itu. Peristiwa yang akhirnya merenggut nyawa wanita itu dua hari yang lalu. Dia tewas karena gantung diri. Setidaknya itu yang polisi simpulkan. Bodoh sekali. Bagaimana mungkin mereka tidak mencurigaiku sedikitpun?
“Kau membuatku menjadi manusia yang paling kotor sedunia. Kau ... membuatku hidup begitu keras dan menyedihkan. Mereka bahkan menganggapku lebih kotor daripada isi jamban sekalipun. Kau memang pantas mendapatkannya. KAU MEMANG PANTAS MATI!!!”
PRRAAANGGG...!!!!
Cangkir berwarna kuning itu hancur berkeping-keping setelah kulempar ke lantai. Hancur. Mungkin begitu juga jasadnya sekarang. Hancur dimakan tanah.
“Kau pasti hancur di sana. Tapi tidak denganku. Aku akan hidup dengan nyaman di dunia ini,”
***
“Aku sudah siap ke kantor. Dan nanti mungkin aku akan pulang sedikit malam karena ada meeting ...”
“Aku janji besok kita makan malam bersama di tempat biasa. Oke, sampai besok.”
Setelah sambungan telepon terputus, aku segera bergegas menuju tempat karjaku. Itu tadi kekasihku. Randi, seorang pengusaha tekstil yang sangat tampan dan pastinya mapan. Nama kami saja sudah mirip. Aku yakin dia adalah jodohku dan hidupku di masa mendatang pasti akan menyenangkan.
Aku sudah berdiri di halte menunggu bus yang akan membawaku sampai di kantor. Kurogoh ponsel yang kusimpan di dalam tasku untuk membuka e-mail atau media sosial sekedar menghabiskan waktu.
“Awas ... !!!”
Kuangkat kepalaku mencari sumber suara dan mencari tahu apa yang terjadi. Belum habis keterkejutanku, tiba-tiba aku merasakan tubuhku melayang dan berakhir di tiang halte.
DUAAKKK!!!
Aku tidak tahu apa yang terjadi. Saat ini aku merasakan seluruh tubuhku mengalami kesakitan yang luar biasa. Anyir. Mungkin ini bau darah yang keluar dari mulut, hidung, atau apapun dari tubuhku. Sebuah mobil sport berwarna merah tampak terbalik dan mengeluarkan asap. Pasti mobil itu yang menabrakku.
Sebelum kesadaranku hilang sepenuhnya, kulihat belasan orang mengerumuniku. Apa yang terjadi denganku? Apa aku akan mati? Tidak. Tidak mungkin. Takdirku masih akan sangat panjang. Aku tidak mungkin mati sekarang. Tapi aku lelah. Mataku tidak bisa lagi melihat dengan jelas. Namun masih cukup jelas melihat sesosok orang yang sangat aku kenal di antara kerumunan orang ini.
“I ... bu ...”
Dia menyeringai. Dan sekarang mataku benar-benar tidak dapat lagi kubuka.  

*** End ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar