Kelopak-kelopak bunga yang sengaja ditebarkan ini masih begitu segar. Aroma
semerbak memenuhi indra penciumanku. Kutatap nisan yang menegak di hadapanku
sekarang ini. Sedikit kujumput tanah dan menggenggamnya tanpa tenaga.
“Ibu ...”
Ucapku lirih seraya memejamkan mata dan memutar kilasan-kilasan memori
yang pernah kulalui bersamanya. Sekarang dia terbujur kaku, sendirian, dan
entah apa yang ia rasakan atau ia alami di sana. Aku tak tahu. Yang aku tahu
kini aku sebatang kara di dunia ini.
Setelah cukup menata pikiran, mencerna dengan baik apa yang telah
menimpaku, aku beranjak dari samping gundukan tanah yang berwarna cokelat
kemerahan ini. Dua langkah. Empat langkah. Hingga langkahku yang kedelapan, aku
berhenti sejenak dan menatap langit yang warnanya tak biru. Lagi-lagi
kupejamkan mata, bersiap mengeluarkan sesuatu yang sejak tadi memang ingin aku
keluarkan.
“Ibuu!! Kau dengar?!! Sekarang tidak ada lagi yang mengganggu hidupku! Kau
dengar tidak?! Sekarang tidak ada lagi yang membuatku muak! Silakan mencapku
sebagai anak durhaka! Aku tidak peduli! AKU TIDAK PEDULI!!!!”
Napasku tersengal-sengal setelah berhasil mengeluarkan semua cacian
itu. Cacian yang sudah ingin aku keluarkan selama dua belas tahun terakhir. Tak
kupedulikan tatapan heran beberapa orang yang juga berada di areal pemakaman
ini. Sekali lagi, aku tak peduli.
***
Dua belas
tahun yang lalu ...
“Ranti...!”
Tak kupedulikan
panggilan wanita itu. Mata dan pikiranku masih terfokus pada selembar kertas
yang warnanya sudah usang. Wanita itu, dia ibuku. Ibu yang begitu hebat karena
dengan tangguhnya menjadi orangtua tunggal untukku selama lima belas tahun. Tapi
itu anggapanku dulu, sebelum aku menemukan kenyataan pahit ini.
Aku tahu
aku memang pelacur. Tapi aku yakin anak ini adalah anakmu. Dia kuberi nama
Ranti. Nama yang cantik, bukan? Secantik parasnya. Kita besarkan dia bersama, Mas
....
Aku mohon
kembalilah padaku.
***
Hujan memang selalu berhasil mengangatkan aku pada memori usang itu. Terlebih
saat sendiri seperti sekarang ini. Secangkir kopi moka panas menjadi teman
terbaikku sebagai seorang lajang yang tinggal sendirian di sebuah apartemen
yang tidak terlalu mewah.
Aku sangat menikmati hidupku sebagai seorang editor majalah ternama
sejak lima tahun terakhir. Dan aku merasa hidupku begitu sempurna setelah
peristiwa itu. Peristiwa yang akhirnya merenggut nyawa wanita itu dua hari yang
lalu. Dia tewas karena gantung diri. Setidaknya itu yang polisi simpulkan. Bodoh
sekali. Bagaimana mungkin mereka tidak mencurigaiku sedikitpun?
“Kau membuatku menjadi manusia yang paling kotor sedunia. Kau ...
membuatku hidup begitu keras dan menyedihkan. Mereka bahkan menganggapku lebih
kotor daripada isi jamban sekalipun. Kau memang pantas mendapatkannya. KAU
MEMANG PANTAS MATI!!!”
PRRAAANGGG...!!!!
Cangkir berwarna kuning itu hancur berkeping-keping setelah kulempar ke
lantai. Hancur. Mungkin begitu juga jasadnya sekarang. Hancur dimakan tanah.
“Kau pasti hancur di sana. Tapi tidak denganku. Aku akan hidup dengan nyaman
di dunia ini,”
***
“Aku sudah siap ke kantor. Dan nanti mungkin aku akan pulang sedikit
malam karena ada meeting ...”
“Aku janji besok kita makan malam bersama di tempat biasa. Oke, sampai
besok.”
Setelah sambungan telepon terputus, aku segera bergegas menuju tempat
karjaku. Itu tadi kekasihku. Randi, seorang pengusaha tekstil yang sangat
tampan dan pastinya mapan. Nama kami saja sudah mirip. Aku yakin dia adalah
jodohku dan hidupku di masa mendatang pasti akan menyenangkan.
Aku sudah berdiri di halte menunggu bus yang akan membawaku sampai di
kantor. Kurogoh ponsel yang kusimpan di dalam tasku untuk membuka e-mail atau
media sosial sekedar menghabiskan waktu.
“Awas ... !!!”
Kuangkat kepalaku mencari sumber suara dan mencari tahu apa yang
terjadi. Belum habis keterkejutanku, tiba-tiba aku merasakan tubuhku melayang
dan berakhir di tiang halte.
DUAAKKK!!!
Aku tidak tahu apa yang terjadi. Saat ini aku merasakan seluruh tubuhku
mengalami kesakitan yang luar biasa. Anyir. Mungkin ini bau darah yang keluar
dari mulut, hidung, atau apapun dari tubuhku. Sebuah mobil sport berwarna merah
tampak terbalik dan mengeluarkan asap. Pasti mobil itu yang menabrakku.
Sebelum kesadaranku hilang sepenuhnya, kulihat belasan orang
mengerumuniku. Apa yang terjadi denganku? Apa aku akan mati? Tidak. Tidak mungkin.
Takdirku masih akan sangat panjang. Aku tidak mungkin mati sekarang. Tapi aku
lelah. Mataku tidak bisa lagi melihat dengan jelas. Namun masih cukup jelas
melihat sesosok orang yang sangat aku kenal di antara kerumunan orang ini.
“I ... bu ...”
Dia menyeringai. Dan sekarang mataku benar-benar tidak dapat lagi
kubuka.
*** End ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar