Sabtu, 07 September 2013

CERPEN (FRIENDSHIP)

TAWA DANU

Beberapa kalimat bernada formal meluncur dari lawan bicaraku yang saat ini duduk berhadapan denganku. Sesekali kami terkekeh sekedar menertawakan hal-hal yang menurut kami lucu. Aku pun tidak segan menceritakan pengalaman belajarku selama tujuh semester di kampus kesayanganku. Meskipun masih ada kecanggungan di antara kami, namun nyatanya ia cukup menarik dijadikan teman diskusi.
Kalau ada yang berpikir aku sedang mengadakan kencan buta, maka aku pastikan pemikiran itu salah besar.  Atau berpikir aku sedang bercengkerama dengan teman baru sesama mahasiswa, aku juga bisa memastikan bahwa itu sangat tidak tepat. Saat ini aku sedang berhadapan dengan seorang guru yang mengampu bidang geografi di sekolah yang terbilang cukup baru ini.
Aku? Aku memang mengajar di sini, di sebuah sekolah menengah atas berstatus negeri, sekolah yang hanya memiliki dua belas kelas. Namun aku bukanlah pengajar tetap, lebih tepatnya hanya pengajar praktikan dari sebuah universitas ternama di kotaku. Dan orang yang sedang berbincang denganku saat ini adalah guru wali kelas XI IPS 2, kelas yang menjadi favoritku selama dua bulan aku praktik mengajar di sini.
Sebenarnya aku tidak terlalu menyukai suasana canggung seperti ini. Laki-laki yang sering disapa Pak Dunar oleh murid-muridnya ini masih sangat muda. Usianya hanya terpaut enam tahun denganku. Akan tetapi pembawaan dirinya sudah seperti orang yang menginjak usia empat puluh lima tahun saja. Cepat saja kuakhiri perbincangan yang lama-lama kurasa cukup membosankan.
Setelah menarik diri, segera kuhampiri beberapa orang siswa yang tengah asyik bercanda. “Dasar, pasti nggak serius lagi ngerjain soalnya,” gumamku sambil melangkah merapatkan barisan, mendekat ke arah sekumpulan siswa yang sudah menganggapku sebagai teman sebaya mereka.
“Kenapa Bu senyum-senyum sendiri?” seorang di antara mereka mengawali interaksi kami. Nizar, ketua kelas XI IPS 2 yang tidak hanya pandai berargumen saat pelajaranku, tapi juga menjadi sentra perhatian dari para siswi di sekolah ini. Apalagi kalau bukan karena dia yang paling tampan di antara teman-temannya?
“Baru setengah jam udah keluar dari ruang ujian. Pasti ngerjainnya pake jurus ngitung bulu alis lagi kan? Gimana nilai mau bagus?” jawabku menanggapi sapaan Nizar. “Mau ngerjain setengah jam, dua jam, atau seharian pun pasti nilainya sama aja Bu. Ujung-ujungnya remedi lagi,” tukas seorang yang lain. Salim, maskotnya kelas XI IPS 2. Aku pun hanya tersenyum kecut mendengar jawaban polos dari anak-anak yang rata-rata umurnya baru tujuh belas tahun ini.
“Bu Farin nggak jaga?” tanya Ridwan, penduduk kelas yang selalu menduduki peringkat terakhir dan paling sering berurusan dengan guru BK. “Nggak. Nanti jam kedua tugas jaganya,” jawabku seraya mengambil tempat duduk di samping Angga, anak yang paling pendiam di antara sahabatnya yang lain. Saat ini kami berada di bawah pohon kers yang tumbuh di depan perpustakaan sekolah. Daun-daunnya memang tidak begitu lebat, namun cukup meneduhkan bagi mereka yang biasa menghabiskan waktu istirahat di sini.
“Nilai sosiologinya udah jadi Bu?” pertanyaan Anwar seketika membuyarkan lamunanku tentang pohon kers yang tengah berdiri kokoh di belakangku. “Belum. Mungkin Senin depan baru jadi. Tenang aja, nanti nilaimu aku pampang di depan pintu kelas atau di mading sekolah,” jelasku sambil menggambar bentuk persegi di udara seolah-olah tertulis sesuatu di dalam kotak tersebut.
“Nggak usah ngejek Bu. Nilai paling mentok 45 aja dipamer-pamerin.”
“Justru Bu Farin tu baik, War. Mau bikin kamu bangga. Gimana nggak baik tuh?”
“Hahaa ... makasih Yudha atas dukungannya,” ujarku sambil menepuk-nepuk bahu Yudha, siswa paling cute di kelasku. Ibarat member Super Junior, kalau Nizar itu Siwon-nya, sedangkan Yudha adalah Yesung. Yang satu tampan, yang satu lagi  imut. Hm, aku senyum-senyum sendiri membayangkan kekonyolanku sendiri. Guru macam apa aku? Bisa-bisanya menyejajarkan murid-muridnya sendiri dengan idola para Elf seantero jagad.
Kubuang imajinasiku tentang Siwon dan Yesung, lantas kulontarkan pertanyaan yang sedari tadi sudah teriak-teriak di kepala minta dikeluarkan. “Mana si Danu? Kenapa nggak keliatan?”
“Nggak berangkat Bu. Sudah empat hari ini,” jawab Nizar.
“Berarti dari hari pertama test donk? Kenapa aku bisa nggak tau ya? Sakit atau kenapa?” berondong pertanyaan aku keluarkan bertubi-tubi. Kalau sudah begini cerewetku pasti kambuh. Rasa penasaranku langsung muncul mengingat Danu adalah siswa yang cukup ramai baik di kelas maupun di luar kelas. Saat berkumpul dengan teman-temannya seperti ini, dia yang paling banyak berbicara. Sekedar menceritakan kebiasaan aneh kakeknya, membagi informasi terbaru berkaitan dengan dunia sepak bola, atau membicarakan Bu Anita, guru bahasa Inggris kesayangannya.
Merasa pertanyaanku tidak ditanggapi, aku pun kembali bertanya, “Kenapa nggak ada yang jawab? Ada surat izinnya nggak?” Bukannya jawaban yang aku dapat, aku justru mendapati pemandangan yang ganjil. Keenam anak ini saling bertatapan seolah menanti jawaban dari yang lain. Sangat jelas tergambar dari ekspresi mereka. Masing-masing tidak ada yang ingin menjawab atau menjelaskan pertanyaanku.
“Ada apa?” ujarku mulai dipenuhi kekhawatiran. Aku sudah mulai bisa membaca situasinya. Ketidakhadiran Danu pasti bukan karena masalah kecil seperti sakit atau urusan lainnya. “Apa ada kaitannya dengan orangtua? Ayahnya bikin ulah lagi?” tebakku mencari kepastian.
Lagi-lagi tidak ada jawaban. Nizar menatap ke arah Yudha, Yudha menatap ke arah Salim dan Angga bergantian, Salim melirik Anwar berulang kali, Anwar menaikkan alis sambil menatap Ridwan, dan Ridwan hanya melirik pasrah ke arah Nizar.
“Apa ini? Kesetiakawanan? Apa Danu yang minta merahasiakannya? Atau memang saya yang tidak berhak tahu karena saya orang asing di mata kalian?” cecarku dengan bahasa yang formal. Situasi memang telah berubah serius sejak beberapa menit yang lalu, sejak aku membicarakan Danu. Tapi anak-anak ini tetap kukuh dalam posisi diam mereka.
“Oke, aku langsung ke Pak Dunar aja,” ucapku seraya beranjak dari tempat ini. Namun belum sampai tiga langkah, aku mendengar sebuah kalimat terlontar dari mulut Angga yang berhasil menghentikan langkahku. “Pak Dunar nggak akan peduli Bu. Dia nggak akan peduli sama masalah Danu sekalipun Bu Farin yang minta buat nyelesein.”
Angga, si diam yang jarang berbicara saat pelajaranku maupun saat berkumpul dengan teman-temannya, tiba-tiba mengeluarkan pernyataan yang membuat alisku mengernyit heran. Aku pun berbalik menunda niatku semula untuk pergi dari tempat ini.
“Pak Dunar itu wali kelas kalian. Mana mungkin seperti itu?” ujarku tak percaya. Aku pernah mendengar bahwa siswa kelas XI IPS 2 memang memiliki hubungan yang tidak harmonis dengan sang wali kelas. Pasalnya Pak Dunar sudah gerah dengan ulah yang dibuat para anak didiknya. Hampir setiap hari ada saja yang berurusan dengan guru BK, entah karena membolos, terlambat ke sekolah, tidak mengerjakan tugas, merokok di belakang sekolah, atau berkelahi antarsiswa.
Aku pikir sangat manusiawi, toh guru juga manusia biasa, dapat merasa bosan atau lelah dengan sekelumit masalah yang dibuat oleh siswanya. Tapi tidak untuk mendiamkan masalah muridnya yang menurutku bukan perkara sepele. Disharmonisasi keluarga adalah masalah sosial yang dialami oleh banyak individu dalam masyarakat. Terdengar biasa, namun masalah ini dapat menimbulkan akibat yang luar biasa pada diri seorang remaja. Aku benar-benar mengkhawatirkannya.
“Nanti setelah test jam kedua selesai, antar aku ke rumah Danu, atau kemana saja Danu berada sekarang ini! Kalau menurut kalian Pak Dunar nggak bisa nyelesein masalahnya, kita selesaikan dengan cara kita sendiri,” tukasku seraya meninggalkan keenam bocah yang masih mematung menatapku.
“Tapi gimana Bu Farin bisa tau masalah Danu?” pertanyaan Angga lagi-lagi membuatku menghentikan langkah. “Apa kalian lupa dengan pertemuan kita yang kedua di kelas? Waktu aku minta kalian menuliskan pengalaman pribadi tentang konflik sosial. Dia menceritakan semuanya. Awalnya aku mengira dia hanya mengarang cerita. Tapi setelah melihat banyak sekali bekas luka itu, bekas goresan silet di pergelangan tangannya, baru aku menyadari kalau dia tidak main-main.”
∞∞∞
Kuparkirkan sepeda motorku di depan sebuah bangunan rumah yang cat dindingnya sudah banyak mengelupas. Sangat sederhana, bahkan terkesan tidak terurus dengan baik. Sekilas kusapukan pandang meneliti keadaan halaman rumah ini. Beberapa tanaman terlihat mulai layu di potnya. Hanya dua pohon mangga yang tumbuh di sisi kiri dan kanan pekarangan yang sedikit membuat kesan teduh.
Tiga sepeda motor ikut terparkirkan dengan rapi. Para pengendaranya bergegas turun dan melepaskan helm yang mereka kenakan. Keenam murid kebanggaanku segera membimbing langkahku untuk mendekati pintu berwarna coklat tua yang terpasang di rumah itu.
Sejenak kuhela napas, berharap agar tubuhku menjadi lebih rileks. Sengaja tidak kulepas jaket merahku agar identitasku sebagai pengajar praktikan tidak terlihat. Aku tidak ingin dianggap sebagai seorang guru yang sedang mencari tahu ada alasan apa siswanya tidak masuk berhari-hari. Tapi aku datang ke tempat ini sebagai teman dari pemilik rumah yang merasa kehilangan banyolan dan tawa khasnya di sekolah.
Tidak ingin membuang waktu, segera saja kuketukkan tanganku di pintu berharap seseorang dari dalam rumah ini keluar dengan sambutan terbaiknya. Tidak butuh waktu lama, seorang wanita muncul dari balik pintu dan membukakannya untuk kami.  Pasti dia ibunya, pikirku. Gurat-gurat halus terukir jelas di wajahnya yang terlihat mulai menua.
Sekilas sang ibu merasa heran melihat kedatanganku, mengingat aku memang baru pertama kali berkunjung ke tempat ini. Namun keheranannya mulai memudar setelah melihat siapa saja yang berada di belakangku. Seolah dapat membaca pikirannya, aku pun tersenyum dan sedikit mengangguk. “Maaf mengganggu. Saya teman Danu. Apa boleh saya bertemu dengannya Bu?”
Nampaknya si ibu tidak mempercayai ucapanku. Mungkin dia berpikir sangatlah ganjil jika Danu bisa memiliki teman seperti aku. “Saya guru praktik di sekolahnya. Tapi saya dan Danu, juga teman-temannya ini, sudah sedikit akrab. Jadi mereka hanya menganggap saya guru hanya di kelas saja,” jelasku sambil mengukir senyuman termanisku kepada si ibu. Merasa pertanyaan yang berkecamuk dalam batinnya terjawab, si ibu hanya mengangguk dan membentuk huruf “o” di bibirnya.
“Mari, silakan masuk. Danu ada di kamarnya.” Setelah mendengar izin dari ibu tersebut, aku segera mengikutinya ke dalam, menuju kamar yang sudah ditunjukkan sebelumnya. Tidak sampai satu menit berjalan, aku sudah berada di dalam sebuah kamar berukuran tiga kali tiga meter dengan sebuah tempat tidur dan lemari pakaian. Tidak ada meja belajar atau semacamnya. Kulihat buku-buku dan tas sekolah Danu berserakan sekenanya di lantai. Sama sekali jauh dari kesan rapi. Beberapa baju pun disampirkan begitu saja ke tepi ranjang dan beberapa lainnya tergantung di dinding.
Anak itu? Ia sedang meringkuk di tempat tidurnya. Selimut berwarna biru tua yang sudah usang dibiarkan menutupi seluruh tubuhnya. Aku mendekat dan memberi sapaan halus. Satu kali, dua kali, tiga kali, empat kali aku memanggil namanya, tidak ada respon sama sekali.
“Jangan pura-pura tidur,” tukasku setelah meraba sisi tempat tidur tempatnya berbaring yang terasa dingin. Kalau ia sudah lama tertidur, pasti kasur di bawah punggungnya terasa hangat. Terlebih lagi aku mencium aroma rokok yang masih sangat menusuk indra penciumanku. Beberapa puntung rokok tampak berserakan di bawah kakiku. Satu di antaranya masih menyala menimbulkan kepulan asap tipis. Menambah keyakinanku bahwa anak ini hanya pura-pura tidur.
“Kenapa nggak masuk sekolah? Bikin repot saja. Aku jadi capek bawa-bawa tas dari kantor ke kelas. Biasanya ada yang bawain, eh ini enggak. Temen-temenmu itu nggak ada yang inisiatif.”
“Kemarin Mbak Sinah juga nanyain kamu. Katanya es teh sama kripiknya belum dibayar. Walaupun cuma dua ribu perak, tapi kalau nggak dibayar kan kasian Mbak Sinah nggak bisa beli dagangan lagi.”
Kulihat si Ridwan dan Salim terkekeh di belakangku. Sedangkan Nizar hanya menggeleng-gelengkan kepalanya seraya tersenyum tipis. Entah apa yang anak-anak ini pikirkan, tapi sikap diam Danu membuatku semakin gemas. Seketika aku bangun dari dudukku dan berbalik menuju pintu hendak keluar. “Ya udah kalo nggak mau ngomong,” ujarku sambil memberi suatu kode kepada anak-anak yang lain. Kuletakkan jari telunjukku di depan bibirku. “Kita pamit deh daripada dicuekin kayak gini. Ayo teman-teman!”
Aku membuat suara menggunakan telapak kakiku, seolah-olah sedang berjalan, namun sebenarnya aku tidak meninggalkan tempat sama sekali. Anak-anak pun mengikutinya. Tiba-tiba ....
“Gitu aja nyerah. Baru dicuekin bentar udah per- . . .” Danu tidak menyelesaikan kalimatnya karena kaget mendapati kami semua masih berada dalam kamarnya. Spontan kami tertawa dengan sedikit tertahan. “Kalian...! Ah bikin malu saja!” sergah Danu sambil menutupkan selimut hingga kepalanya.
“Makanya nggak usah jual mahal!” ucap Anwar sambil membuka paksa selimut yang menutupi tubuh Danu. Kulihat Danu tertawa kecil. Kini ia sudah duduk menghadap kami. Kelegaan serta merta muncul dalam diriku. Danu, apa yang sebenarnya terjadi? Pertanyaan ini untuk sementara kubiarkan hanya berputar-putar di kepalaku. Nanti saja kuutarakan sampai suasana benar-benar nyaman untuk berbicara.
∞∞∞
Kupijat keningku untuk sekedar menghilangkan pening yang menyerang. Acara talkshow yang sedang tayang ini kubiarkan saja berlalu tanpa aku mengerti isinya. Sesekali aku mengganti channel berharap menemukan acara yang menarik dan sedikit menghilangkan penatku. Namun sepertinya sia-sia, pikiranku memang sedang tidak berada di sini. Berulang kali ucapan ibu Danu tadi sore terus terngiang di kepalaku.
“Sejak kecil Danu dan ayahnya sudah seperti musuh, Bu. Danu tidak menyukai ayahnya karena terlalu  keras. Hampir setiap hari Danu kena pukul ayahnya, termasuk saya.”
Danu, di balik sosoknya yang humoris dan suka berbicara, ternyata di dalam hati ia menyimpan luka yang menganga lebar.
“Danu paling tidak suka jika melihat saya dipukul ayahnya. Beberapa kali ia mencoba melukai ayahnya dengan pisau atau senjata apa pun yang ia temukan. Tapi saya selalu berhasil mencegahnya. Jika sudah begitu, anak itu akan pergi ke tempat biasa ia kumpul dengan teman-temannya. Menghabiskan malam dengan rokok dan minum-minuman keras.”
Rokok dan alkohol, pasti bukan cuma itu. Luka-luka gores di tangannya, entah dugaanku benar atau salah, tapi aku khawatir dia sudah terlalu jauh dari itu. Sudah banyak kasus serupa di masyarakat. Remaja yang mengalami disharmonisasi keluarga atau bahkan broken home, mereka lari ke narkoba untuk melampiaskan rasa kecewanya. Danu ... semoga aku salah.
“Apa Danu dan ayahnya sekalipun tidak pernah akur? Meskipun itu hanya satu hari?” tanyaku waktu itu.
“Pernah, Bu. Tapi itu tidak akan berlangsung lama. Sikap lunak Danu akan segera hilang jika mendapati ayahnya bersiap menemui keluarga barunya.”
“Keluarga ... baru?”
Otakku masih menyimpan rekaman itu dengan baik. Raut wajah yang ditampilkan ibu Danu, bagaimana ia menahan rasa sakitnya sebagai seorang istri yang dikhianati, dan bagaimana ia harus mengisi stok kesabaran setiap harinya saat melihat konflik besar antara anak dan suaminya sendiri. Suami yang entah masih menganggapnya ada atau tidak.
Kala itu matanya memerah, ada sedikit air yang tertahan namun tidak leluasa keluar, suaranya pun bergetar, sangat sempurna menggambarkan perasaan pahit seorang wanita yang masih bertahan meskipun jelas-jelas singgasananya sebagai permaisuri telah direbut oleh wanita lain. Aku sendiri tidak tahu pasti apa namanya. Kesetiaan, kebodohan, atau apa, aku benar-benar tidak mengerti.
Tidak banyak kalimat yang keluar, namun aku sudah mampu membaca situasinya. Aku juga tidak tega membiarkan wanita itu banyak bicara yang nantinya hanya akan menambah kesakitannya. Sore tadi aku memang menyempatkan diri untuk berbicara dengan ibu Danu saat anak-anak sudah berhasil mengajak Danu keluar dari kandangnya. Mereka aku minta mengajak Danu ke suatu tempat yang dapat membuatnya tenang tanpa perlu lari ke hal-hal atau benda-benda yang mengerikan.
Ingatanku pun beralih kepada pembicaraanku dengan Danu sore itu juga.
Pokoknya besok aku mau lihat kamu di sekolah.”
“Apa Bu Farin udah kangen berat sama aku? Hehee ....”
“Nggak usah ke-pede-an kayak gitu. Aku cuma nggak mau kamu nyusahin guru-guru yang lain karena harus nyiapin ujian susulan buat kamu.”
“Aku nggak yakin apa mereka masih peduli sama aku, Bu.”
“Nggak perlu ngomong gitu deh. Mereka pasti peduli sama kamu. Hanya caranya saja yang berbeda.”
“....”
“Gimana? Ya udah motivasinya diubah aja. Jangan karena pengen pinter pergi ke sekolahnya. Gimana kalo motivasinya biar bisa ketemu Bu Anita? Hm?”
“Nggak ah.”
“Terus?”
“Motivasinya biar bisa liat Bu Farin aja.”
Kalimat terakhir yang dilontarkan Danu berhasil membuat aku senyum-senyum sendiri tidak jelas. Siapa yang tidak ge-er diperlakukan seperti itu? Bisa dekat dengan siswa-siswa terpopuler di sekolah padahal tampangku bisa dibilang tidak menawan sama sekali. Sedangkan teman-teman praktikan yang lain banyak yang cantik, namun anak-anak itu memilih untuk mengakrabkan diri denganku.
“Tidak ada rokok, alkohol, atau apa pun yang dapat menyeret kalian ke liang lahat lebih cepat. Aku percaya sama kalian.”
Kukirimkan pesan singkat ke nomor ponsel Nizar. Aku masih berharap mereka tidak berbuat hal-hal konyol yang justru membawa kepada masalah baru.
“Beres boz!”
“Awas saja kalau kalian melanggar aturan mainku,” gumamku setelah membaca balasan dari Nizar. Sejenak aku berpikir tentang sesuatu. Kubuka daftar kontak dari ponselku mencari sebuah nama. Tidak butuh waktu lama aku telah terhubung dengan seseorang.
∞∞∞
Dengan cekatan jariku menggerakkan bolpoin untuk menulis sebuah catatan di bukuku. Saat ini aku sedang berada di meja guru, tepatnya di kelas XI IPS 2. Hari ini adalah hari kelima semenjak aku mengunjungi rumah Danu untuk mengajaknya kembali ke sekolah. Sekilas aku melirik tempat duduknya. Dia tidak berada di sana. Bukan membolos lagi, tapi Danu sedang berada di ruang perpustakaan. Dia harus mengerjakan soal-soal dari beberapa mata pelajaran karena ketidakhadirannya selama ujian tengah semester kemarin.
Pikiranku kembali melayang mengingat pembicaraanku dengan seorang teman malam itu. Dia adalah salah satu teman lama yang sekarang sedang menyelesaikan S2 hukumnya di kampus kenamaan di kota Bandung.
“Kalau korban KDRT-nya sendiri tidak mau buka suara susah, Rin. Pelaku KDRT hanya bisa ditindak kalau korbannya sendiri yang lapor. Jadi sebagai orang luar kita hanya bisa membujuk agar korban mau blak-blakan terhadap apa yang dialaminya.”
Kupegangi kepalaku seolah-olah leher ini sudah tidak kuat lagi menopang saking beratnya. Apa kasus seperti ini telah banyak yang mengalami? Lalu apa yang mereka lakukan? Belum puas aku berteka-teki di alam pikiranku sendiri, harus kudongakkan kepalaku karena aku merasa ada yang memperhatikan. Dan benar saja. Nizar sedang menatapku sekarang. Dia membuka mulutnya tanpa bersuara, namun aku dapat mengerti apa yang ia ucapkan. “Ngelamunin siapa?” begitu kira-kira yang dia bilang. Dengan cara yang sama, tanpa bersuara, aku pun menjawab pertanyaannya. “Yang jelas bukan kamu,” isyaratku lalu tersenyum setelahnya.
Kusingkirkan masalah Danu sejenak untuk kembali berkonsentrasi pada kelasku. Tidak biasanya siswa-siswa di depanku ini bisa bersikap manis di tempat duduk masing-masing. Biasanya kelas ini tidak beda jauh dengan pasar pagi di jam lima subuh. Baguslah, minimal darah tinggiku kali ini tidak kambuh. “Ada yang sudah selesai? Kalau sudah silakan dikumpulkan.”
∞∞∞
Sudah lebih dari dua jam aku duduk di sini. Namun tujuan utamaku belum juga tercapai. Rasa kantuk dan pegal sontak saja melandaku. Benar-benar tidak dapat diterima akal. Bisa-bisanya dosen pembimbing skripsiku membuatku menunggu selama berjam-jam seperti ini hanya karena ingin melakukan sesuatu yang menurutku tidak penting. Apakah wajar jika seorang dosen menolak konsultasi mahasiswanya hanya untuk membaca majalah fashion? Entahlah. Tapi persediaan kesabaranku sudah mulai di ambang kritis.
Saat ini aku sedang berada di depan ruang dosen. Sebenarnya suasana di sini tidak terlalu buruk. Pepohonan yang sengaja ditanam untuk menambah kesan sejuk, tempat-tempat duduk yang dirancang sedemikian rupa sebagai bagian dari fasilitas mahasiswa ketika ingin menyelesaikan tugas, berdiskusi, sekedar bercengkerama dengan sesama teman mahasiswa, atau menunggu dosen seperti yang aku lakukan sekarang ini. Tapi tetap saja ini terlalu menjenuhkan.
Saat sedang memperhatikan sekumpulan mahasiswa yang tengah menikmati candaan dalam interaksi sosial mereka, tiba-tiba kurasakan ponselku bergetar. Sebuah panggilan dari seseorang yang sudah aku kenal. Nizar. Sebuah senyum tipis terukir dari bibirku. Masa-masa menjadi guru praktikan memang telah terlewatkan tiga bulan yang lalu. Namun aku senang anak-anak itu masih mengingatku. Sesekali mereka mengirimiku pesan singkat sekedar menyapa atau berbagi cerita mengenai kegiatan sehari-hari di sekolah.
“Halo,” sapaku setelah kutekan sebuah tombol dari ponselku. Sepuluh detik pertama aku masih tersenyum, meyakini bahwa hidup begitu indah ketika ada yang mengingat kita sebagai seorang pengajar sekaligus sebagai teman. Namun setelah sepuluh detik itu, aku sangat yakin bahwa senyum yang semula terukir dari wajahku lenyap seketika. “Aku segera ke sana,” ujarku sebelum pembicaraan kami kuakhiri.
∞∞∞
Empat puluh menit lalu aku masih dikuasai perasaan gelisah dan sebal ketika harus menunggu seorang dosen untuk mengonsultasikan hasil penelitianku. Dan sekarang aku telah berdiri di sebuah tempat yang dipenuhi banyak orang. Aku pernah mendatangi tempat ini. Aku pun masih mengingat apa yang aku lakukan dan kepada siapa aku berbicara saat aku datang ke sini untuk pertama kali. Tidak pernah terbesit dalam pikiranku bahwa aku akan datang ke tempat ini lagi dengan situasi seperti ini. Tidak pernah sekalipun.
Kedekatkan diriku pada sesosok tubuh yang telah terbujur kaku. Di sekelilingnya telah duduk beberapa orang yang kutahu mereka sedang membaca ayat-ayat dalam sebuah kitab suci. Mereka sedang mengaji, tentu saja untuk mendoakan jiwa yang telah tercerabut dari raga yang telah dingin di depanku ini.
“Bu Astri ...,” ucapku lirih menyebut satu nama. Bu Astri, sosok perempuan yang paling tegar yang pernah aku kenal. Seseorang yang begitu hangat namun di hatinya tersimpan luka yang kutahu teramat dalam dan perih. Kututup mulutku dengan sebelah tanganku, berharap tidak ada tangisan keras yang keluar karena melihat kenyataan menyakitkan ini. Dia bukan ibuku, bukan saudara atau kerabatku, dia hanya orang tua dari murid kesayanganku. Tapi rasanya sakit sekali. Begitu menyesakkan.
Segera kualihkan pendangan untuk mencarinya. Danu. Aku yakin dia pasti terpukul saat ini. Di sebuah sudut ruangan aku melihat seseorang melambai ke arahku. Kulihat Nizar, Ridwan, Angga, Salim, Anwar, juga Yudha tengah duduk dengan wajah lusuh. Di antara mereka terduduk sosok yang sedari tadi aku cari. Siapa lagi kalau bukan Danu?
Aku mendekat ke arah mereka. Kuhentikan langkahku setelah benar-benar berada di hadapan Danu. Dia menyadari kehadiranku. Sejenak ia menyuguhkan senyum untuk menyambutku. Tidak lama, hanya dua detik. Bahkan dalam kehancurannya dia masih berusaha menampakkan sosok yang hangat di hadapanku. Kupukul dadaku dengan pelan. Sesak sekali melihatnya seperti ini. Dan tanpa bisa kutahan lagi akhirnya tangisku pun pecah.
Aku tidak ingin terlihat konyol dan cengeng seperti ini. Selama di perjalanan menuju ke rumahnya tadi aku selalu meyakinkan diriku sendiri untuk menjadi sosok yang tegar di depan Danu untuk memberinya semangat dan sedikit dukungan. Tapi apa? Aku malah lebih lemah dari dia yang sedang hancur. Ibunya yang paling dia cintai melebihi apa pun di dunia ini, seseorang yang selalu membuatnya kuat di saat sang ayah selalu berulah dan menyakiti fisik maupun perasaannya, seseorang yang membuatnya berkeinginan untuk menjadi ayah dan suami yang baik juga lembut di depan keluarganya kelak, kini hanya diam dan tidak mungkin lagi tersenyum untuk menenangkan Danu.
Tuhan, kenapa takdir anak ini begitu pahit? Apa yang sebenarnya Kau persiapkan untuk hidupnya kelak? Bahkan aku merasa seperti benda antik yang tidak berguna di hadapannya. Tidak dapat melakukan apa-apa untuknya. Saat kurasakan kakiku sudah tidak mampu lagi menopang beban tubuhku, tiba-tiba kurasakan sesuatu yang hangat menyentuh jari-jari tanganku. Ternyata sebuah tangan. Ia meraih telapak tanganku yang kugunakan untuk menutupi wajahku yang kacau karena menangis.
“Mana Bu Farin yang kuat? Kenapa jadi seperti ini? Bahkan menenangkan kelas yang isinya berandalan kayak aku aja bisa dilakukannya dengan mudah. Aku hancur, Bu. Tapi tidak akan lama. Aku tahu ibuku akan tetap memelukku walaupun raganya sudah di dalam tanah. Dan aku yakin, dia akan lebih bahagia di sana. Jadi, tersenyumlah, Bu. Tersenyumlah seperti biasa Bu Farin lakukan saat menghadapi kenakalanku.”
Aku benar-benar tidak percaya orang yang sedang menenangkanku saat ini adalah Danu. Sambil terus menggenggam tanganku dia menguraikan kalimat luar biasa seperti tadi. Tapi bukannya diam, tangisanku justru semakin keras. Payah sekali.
∞∞∞
Kubalik lembar demi lembar surat kabar yang sedang berada di tanganku. Minggu pagi adalah waktu yang paling menyenangkan untuk bersantai di rumah sambil mencari berita yang menarik yang telah ditulis para kuli tinta ini. Kusapukan pandanganku untuk membaca tiap judul berita. Tiba-tiba kurasakan mataku terpaku pada sebuah titik, sebaris judul berita yang berkaitan dengan kehancuran hidup seseorang.
“PELAKU PEMBUNUHAN SADIS DI DESA TRUNAJAYA TERNYATA SUAMI KORBAN”
Desa Trunajaya adalah tempat tinggal Danu. Dengan cekatan kubaca isi berita seluruhnya. Dugaanku benar. Kasus yang dimaksud memang kasus yang pernah menimpa Bu Astri, ibu Danu. Sudah satu bulan berlalu sejak kematiannya, namun polisi baru menangkap pelakunya yang tidak lain ayah Danu sendiri.
Sebelumnya aku sudah mendengar bahwa kematian Bu Astri disebabkan penganiayaan berat yang dialaminya. Kepalanya hancur akibat dipukul benda tumpul berkali-kali. Danu sendiri yang menceritakan hal ini. Dan ia sudah tahu bahwa pelakunya adalah sang ayah. Pada saat malam kejadian, Danu sedang menginap di rumah Salim sehingga persis kejadiannya ia tidak tahu.
Siang hari ketika ia kembali ke rumah, ia mendapati ibunya sudah terbujur kaku bersimbah darah. Tidak ada yang bisa ia lakukan saat itu selain menunggu kepastian dari polisi. Dan setelah tertangkapnya sang ayah sekarang, aku harap Danu bisa sedikit bernapas lega.
Segera kuambil ponsel yang berada di dalam saku celanaku. Dengan cepat kuhubungi seseorang. Tidak butuh waktu lama untuk mendengarkan sang pemilik nomor berbicara di sambungan teleponku. “Aku tahu apa yang Bu Farin mau bicarakan. Aku sudah tahu, Bu. Semalam polisi udah ngasih tau langsung kalo dia udah ketangkep. Jadi Bu Farin udah bisa tenang, karena apa yang dikhawatirkan nggak terjadi. Aku nggak sepicik itu, Bu. Ngapain mesti capek-capek nyariin dia hanya buat balas dendam? Aku nggak pengen ibuku kecewa sama aku di sana.”
Aku hanya tersenyum menanggapi ucapan Danu. Hanya kalimat singkat yang dapat aku lontarkan sebelum panggilan ini kututup. “Kamu tau apa yang nggak pernah aku sesali selama hidup? Ketemu sama bocah-bocah tengil hebat macam kalian.”
∞∞∞
∞∞∞


Tidak ada komentar:

Posting Komentar