TAWA DANU
Beberapa kalimat bernada formal meluncur dari lawan bicaraku yang saat
ini duduk berhadapan denganku. Sesekali kami terkekeh sekedar menertawakan
hal-hal yang menurut kami lucu. Aku pun tidak segan menceritakan pengalaman
belajarku selama tujuh semester di kampus kesayanganku. Meskipun masih ada
kecanggungan di antara kami, namun nyatanya ia cukup menarik dijadikan teman
diskusi.
Kalau ada yang berpikir aku sedang mengadakan kencan buta, maka aku
pastikan pemikiran itu salah besar. Atau
berpikir aku sedang bercengkerama dengan teman baru sesama mahasiswa, aku juga
bisa memastikan bahwa itu sangat tidak tepat. Saat ini aku sedang berhadapan
dengan seorang guru yang mengampu bidang geografi di sekolah yang terbilang
cukup baru ini.
Aku? Aku memang mengajar di sini, di sebuah sekolah menengah atas
berstatus negeri, sekolah yang hanya memiliki dua belas kelas. Namun aku
bukanlah pengajar tetap, lebih tepatnya hanya pengajar praktikan dari sebuah
universitas ternama di kotaku. Dan orang yang sedang berbincang denganku saat
ini adalah guru wali kelas XI IPS 2, kelas yang menjadi favoritku selama dua
bulan aku praktik mengajar di sini.
Sebenarnya aku tidak terlalu menyukai suasana canggung seperti ini.
Laki-laki yang sering disapa Pak Dunar oleh murid-muridnya ini masih sangat
muda. Usianya hanya terpaut enam tahun denganku. Akan tetapi pembawaan dirinya
sudah seperti orang yang menginjak usia empat puluh lima tahun saja. Cepat saja
kuakhiri perbincangan yang lama-lama kurasa cukup membosankan.
Setelah menarik diri, segera kuhampiri beberapa orang siswa yang tengah
asyik bercanda. “Dasar, pasti nggak serius lagi ngerjain soalnya,” gumamku
sambil melangkah merapatkan barisan, mendekat ke arah sekumpulan siswa yang
sudah menganggapku sebagai teman sebaya mereka.
“Kenapa Bu senyum-senyum sendiri?” seorang di antara mereka mengawali
interaksi kami. Nizar, ketua kelas XI IPS 2 yang tidak hanya pandai berargumen
saat pelajaranku, tapi juga menjadi sentra perhatian dari para siswi di sekolah
ini. Apalagi kalau bukan karena dia yang paling tampan di antara
teman-temannya?
“Baru setengah jam udah keluar dari ruang ujian. Pasti ngerjainnya pake
jurus ngitung bulu alis lagi kan? Gimana nilai mau bagus?” jawabku menanggapi
sapaan Nizar. “Mau ngerjain setengah jam, dua jam, atau seharian pun pasti
nilainya sama aja Bu. Ujung-ujungnya remedi lagi,” tukas seorang yang lain.
Salim, maskotnya kelas XI IPS 2. Aku pun hanya tersenyum kecut mendengar
jawaban polos dari anak-anak yang rata-rata umurnya baru tujuh belas tahun ini.
“Bu Farin nggak jaga?” tanya Ridwan, penduduk kelas yang selalu
menduduki peringkat terakhir dan paling sering berurusan dengan guru BK.
“Nggak. Nanti jam kedua tugas jaganya,” jawabku seraya mengambil tempat duduk di
samping Angga, anak yang paling pendiam di antara sahabatnya yang lain. Saat
ini kami berada di bawah pohon kers yang tumbuh di depan perpustakaan sekolah.
Daun-daunnya memang tidak begitu lebat, namun cukup meneduhkan bagi mereka yang
biasa menghabiskan waktu istirahat di sini.
“Nilai sosiologinya udah jadi Bu?” pertanyaan Anwar seketika
membuyarkan lamunanku tentang pohon kers yang tengah berdiri kokoh di
belakangku. “Belum. Mungkin Senin depan baru jadi. Tenang aja, nanti nilaimu
aku pampang di depan pintu kelas atau di mading sekolah,” jelasku sambil
menggambar bentuk persegi di udara seolah-olah tertulis sesuatu di dalam kotak
tersebut.
“Nggak usah ngejek Bu. Nilai paling mentok 45 aja dipamer-pamerin.”
“Justru Bu Farin tu baik, War. Mau bikin kamu bangga. Gimana nggak baik
tuh?”
“Hahaa ... makasih Yudha atas dukungannya,” ujarku sambil menepuk-nepuk
bahu Yudha, siswa paling cute di
kelasku. Ibarat member Super Junior, kalau Nizar itu Siwon-nya, sedangkan Yudha
adalah Yesung. Yang satu tampan, yang satu lagi
imut. Hm, aku senyum-senyum sendiri membayangkan kekonyolanku sendiri.
Guru macam apa aku? Bisa-bisanya menyejajarkan murid-muridnya sendiri dengan
idola para Elf seantero jagad.
Kubuang imajinasiku tentang Siwon dan Yesung, lantas kulontarkan
pertanyaan yang sedari tadi sudah teriak-teriak di kepala minta dikeluarkan.
“Mana si Danu? Kenapa nggak keliatan?”
“Nggak berangkat Bu. Sudah empat hari ini,” jawab Nizar.
“Berarti dari hari pertama test donk? Kenapa aku bisa nggak tau ya?
Sakit atau kenapa?” berondong pertanyaan aku keluarkan bertubi-tubi. Kalau
sudah begini cerewetku pasti kambuh. Rasa penasaranku langsung muncul mengingat
Danu adalah siswa yang cukup ramai baik di kelas maupun di luar kelas. Saat
berkumpul dengan teman-temannya seperti ini, dia yang paling banyak berbicara.
Sekedar menceritakan kebiasaan aneh kakeknya, membagi informasi terbaru
berkaitan dengan dunia sepak bola, atau membicarakan Bu Anita, guru bahasa
Inggris kesayangannya.
Merasa pertanyaanku tidak ditanggapi, aku pun kembali bertanya, “Kenapa
nggak ada yang jawab? Ada surat izinnya nggak?” Bukannya jawaban yang aku
dapat, aku justru mendapati pemandangan yang ganjil. Keenam anak ini saling
bertatapan seolah menanti jawaban dari yang lain. Sangat jelas tergambar dari
ekspresi mereka. Masing-masing tidak ada yang ingin menjawab atau menjelaskan
pertanyaanku.
“Ada apa?” ujarku mulai dipenuhi kekhawatiran. Aku sudah mulai bisa
membaca situasinya. Ketidakhadiran Danu pasti bukan karena masalah kecil
seperti sakit atau urusan lainnya. “Apa ada kaitannya dengan orangtua? Ayahnya
bikin ulah lagi?” tebakku mencari kepastian.
Lagi-lagi tidak ada jawaban. Nizar menatap ke arah Yudha, Yudha menatap
ke arah Salim dan Angga bergantian, Salim melirik Anwar berulang kali, Anwar
menaikkan alis sambil menatap Ridwan, dan Ridwan hanya melirik pasrah ke arah
Nizar.
“Apa ini? Kesetiakawanan? Apa Danu yang minta merahasiakannya? Atau
memang saya yang tidak berhak tahu karena saya orang asing di mata kalian?”
cecarku dengan bahasa yang formal. Situasi memang telah berubah serius sejak
beberapa menit yang lalu, sejak aku membicarakan Danu. Tapi anak-anak ini tetap
kukuh dalam posisi diam mereka.
“Oke, aku langsung ke Pak Dunar aja,” ucapku seraya beranjak dari
tempat ini. Namun belum sampai tiga langkah, aku mendengar sebuah kalimat
terlontar dari mulut Angga yang berhasil menghentikan langkahku. “Pak Dunar
nggak akan peduli Bu. Dia nggak akan peduli sama masalah Danu sekalipun Bu
Farin yang minta buat nyelesein.”
Angga, si diam yang jarang berbicara saat pelajaranku maupun saat
berkumpul dengan teman-temannya, tiba-tiba mengeluarkan pernyataan yang membuat
alisku mengernyit heran. Aku pun berbalik menunda niatku semula untuk pergi
dari tempat ini.
“Pak Dunar itu wali kelas kalian. Mana mungkin seperti itu?” ujarku tak
percaya. Aku pernah mendengar bahwa siswa kelas XI IPS 2 memang memiliki
hubungan yang tidak harmonis dengan sang wali kelas. Pasalnya Pak Dunar sudah
gerah dengan ulah yang dibuat para anak didiknya. Hampir setiap hari ada saja
yang berurusan dengan guru BK, entah karena membolos, terlambat ke sekolah,
tidak mengerjakan tugas, merokok di belakang sekolah, atau berkelahi
antarsiswa.
Aku pikir sangat manusiawi, toh guru juga manusia biasa, dapat merasa
bosan atau lelah dengan sekelumit masalah yang dibuat oleh siswanya. Tapi tidak
untuk mendiamkan masalah muridnya yang menurutku bukan perkara sepele.
Disharmonisasi keluarga adalah masalah sosial yang dialami oleh banyak individu
dalam masyarakat. Terdengar biasa, namun masalah ini dapat menimbulkan akibat
yang luar biasa pada diri seorang remaja. Aku benar-benar mengkhawatirkannya.
“Nanti setelah test jam kedua selesai, antar aku ke rumah Danu, atau
kemana saja Danu berada sekarang ini! Kalau menurut kalian Pak Dunar nggak bisa
nyelesein masalahnya, kita selesaikan dengan cara kita sendiri,” tukasku seraya
meninggalkan keenam bocah yang masih mematung menatapku.
“Tapi gimana Bu Farin bisa tau masalah Danu?” pertanyaan Angga
lagi-lagi membuatku menghentikan langkah. “Apa kalian lupa dengan pertemuan
kita yang kedua di kelas? Waktu aku minta kalian menuliskan pengalaman pribadi
tentang konflik sosial. Dia menceritakan semuanya. Awalnya aku mengira dia
hanya mengarang cerita. Tapi setelah melihat banyak sekali bekas luka itu, bekas
goresan silet di pergelangan tangannya, baru aku menyadari kalau dia tidak
main-main.”
∞∞∞
Kuparkirkan sepeda motorku di depan sebuah bangunan rumah yang cat
dindingnya sudah banyak mengelupas. Sangat sederhana, bahkan terkesan tidak
terurus dengan baik. Sekilas kusapukan pandang meneliti keadaan halaman rumah ini.
Beberapa tanaman terlihat mulai layu di potnya. Hanya dua pohon mangga yang
tumbuh di sisi kiri dan kanan pekarangan yang sedikit membuat kesan teduh.
Tiga sepeda motor ikut terparkirkan dengan rapi. Para pengendaranya
bergegas turun dan melepaskan helm yang mereka kenakan. Keenam murid
kebanggaanku segera membimbing langkahku untuk mendekati pintu berwarna coklat
tua yang terpasang di rumah itu.
Sejenak kuhela napas, berharap agar tubuhku menjadi lebih rileks.
Sengaja tidak kulepas jaket merahku agar identitasku sebagai pengajar praktikan
tidak terlihat. Aku tidak ingin dianggap sebagai seorang guru yang sedang
mencari tahu ada alasan apa siswanya tidak masuk berhari-hari. Tapi aku datang
ke tempat ini sebagai teman dari pemilik rumah yang merasa kehilangan banyolan
dan tawa khasnya di sekolah.
Tidak ingin membuang waktu, segera saja kuketukkan tanganku di pintu
berharap seseorang dari dalam rumah ini keluar dengan sambutan terbaiknya.
Tidak butuh waktu lama, seorang wanita muncul dari balik pintu dan membukakannya
untuk kami. Pasti dia ibunya, pikirku.
Gurat-gurat halus terukir jelas di wajahnya yang terlihat mulai menua.
Sekilas sang ibu merasa heran melihat kedatanganku, mengingat aku
memang baru pertama kali berkunjung ke tempat ini. Namun keheranannya mulai
memudar setelah melihat siapa saja yang berada di belakangku. Seolah dapat
membaca pikirannya, aku pun tersenyum dan sedikit mengangguk. “Maaf mengganggu.
Saya teman Danu. Apa boleh saya bertemu dengannya Bu?”
Nampaknya si ibu tidak mempercayai ucapanku. Mungkin dia berpikir
sangatlah ganjil jika Danu bisa memiliki teman seperti aku. “Saya guru praktik
di sekolahnya. Tapi saya dan Danu, juga teman-temannya ini, sudah sedikit
akrab. Jadi mereka hanya menganggap saya guru hanya di kelas saja,” jelasku
sambil mengukir senyuman termanisku kepada si ibu. Merasa pertanyaan yang
berkecamuk dalam batinnya terjawab, si ibu hanya mengangguk dan membentuk huruf
“o” di bibirnya.
“Mari, silakan masuk. Danu ada di kamarnya.” Setelah mendengar izin
dari ibu tersebut, aku segera mengikutinya ke dalam, menuju kamar yang sudah
ditunjukkan sebelumnya. Tidak sampai satu menit berjalan, aku sudah berada di
dalam sebuah kamar berukuran tiga kali tiga meter dengan sebuah tempat tidur
dan lemari pakaian. Tidak ada meja belajar atau semacamnya. Kulihat buku-buku
dan tas sekolah Danu berserakan sekenanya di lantai. Sama sekali jauh dari
kesan rapi. Beberapa baju pun disampirkan begitu saja ke tepi ranjang dan
beberapa lainnya tergantung di dinding.
Anak itu? Ia sedang meringkuk di tempat tidurnya. Selimut berwarna biru
tua yang sudah usang dibiarkan menutupi seluruh tubuhnya. Aku mendekat dan
memberi sapaan halus. Satu kali, dua kali, tiga kali, empat kali aku memanggil
namanya, tidak ada respon sama sekali.
“Jangan pura-pura tidur,” tukasku setelah meraba sisi tempat tidur
tempatnya berbaring yang terasa dingin. Kalau ia sudah lama tertidur, pasti
kasur di bawah punggungnya terasa hangat. Terlebih lagi aku mencium aroma rokok
yang masih sangat menusuk indra penciumanku. Beberapa puntung rokok tampak
berserakan di bawah kakiku. Satu di antaranya masih menyala menimbulkan kepulan
asap tipis. Menambah keyakinanku bahwa anak ini hanya pura-pura tidur.
“Kenapa nggak masuk sekolah? Bikin repot saja. Aku jadi capek bawa-bawa
tas dari kantor ke kelas. Biasanya ada yang bawain, eh ini enggak.
Temen-temenmu itu nggak ada yang inisiatif.”
“Kemarin Mbak Sinah juga nanyain kamu. Katanya es teh sama kripiknya
belum dibayar. Walaupun cuma dua ribu perak, tapi kalau nggak dibayar kan kasian
Mbak Sinah nggak bisa beli dagangan lagi.”
Kulihat si Ridwan dan Salim terkekeh di belakangku. Sedangkan Nizar
hanya menggeleng-gelengkan kepalanya seraya tersenyum tipis. Entah apa yang
anak-anak ini pikirkan, tapi sikap diam Danu membuatku semakin gemas. Seketika
aku bangun dari dudukku dan berbalik menuju pintu hendak keluar. “Ya udah kalo
nggak mau ngomong,” ujarku sambil memberi suatu kode kepada anak-anak yang
lain. Kuletakkan jari telunjukku di depan bibirku. “Kita pamit deh daripada
dicuekin kayak gini. Ayo teman-teman!”
Aku membuat suara menggunakan telapak kakiku, seolah-olah sedang
berjalan, namun sebenarnya aku tidak meninggalkan tempat sama sekali. Anak-anak
pun mengikutinya. Tiba-tiba ....
“Gitu aja nyerah. Baru dicuekin bentar udah per- . . .” Danu tidak
menyelesaikan kalimatnya karena kaget mendapati kami semua masih berada dalam
kamarnya. Spontan kami tertawa dengan sedikit tertahan. “Kalian...! Ah bikin
malu saja!” sergah Danu sambil menutupkan selimut hingga kepalanya.
“Makanya nggak usah jual mahal!” ucap Anwar sambil membuka paksa
selimut yang menutupi tubuh Danu. Kulihat Danu tertawa kecil. Kini ia sudah
duduk menghadap kami. Kelegaan serta merta muncul dalam diriku. Danu, apa yang
sebenarnya terjadi? Pertanyaan ini untuk sementara kubiarkan hanya
berputar-putar di kepalaku. Nanti saja kuutarakan sampai suasana benar-benar
nyaman untuk berbicara.
∞∞∞
Kupijat keningku untuk sekedar menghilangkan pening yang menyerang.
Acara talkshow yang sedang tayang ini kubiarkan saja berlalu tanpa aku mengerti
isinya. Sesekali aku mengganti channel berharap menemukan acara yang menarik
dan sedikit menghilangkan penatku. Namun sepertinya sia-sia, pikiranku memang
sedang tidak berada di sini. Berulang kali ucapan ibu Danu tadi sore terus
terngiang di kepalaku.
“Sejak kecil Danu dan ayahnya
sudah seperti musuh, Bu. Danu tidak menyukai ayahnya karena terlalu keras. Hampir setiap hari Danu kena pukul
ayahnya, termasuk saya.”
Danu, di balik sosoknya yang humoris dan suka berbicara, ternyata di
dalam hati ia menyimpan luka yang menganga lebar.
“Danu paling tidak suka jika
melihat saya dipukul ayahnya. Beberapa kali ia mencoba melukai ayahnya dengan
pisau atau senjata apa pun yang ia temukan. Tapi saya selalu berhasil
mencegahnya. Jika sudah begitu, anak itu akan pergi ke tempat biasa ia kumpul
dengan teman-temannya. Menghabiskan malam dengan rokok dan minum-minuman
keras.”
Rokok dan alkohol, pasti bukan cuma itu. Luka-luka gores di tangannya,
entah dugaanku benar atau salah, tapi aku khawatir dia sudah terlalu jauh dari
itu. Sudah banyak kasus serupa di masyarakat. Remaja yang mengalami
disharmonisasi keluarga atau bahkan broken home, mereka lari ke narkoba untuk
melampiaskan rasa kecewanya. Danu ... semoga aku salah.
“Apa Danu dan ayahnya sekalipun
tidak pernah akur? Meskipun itu hanya satu hari?” tanyaku waktu itu.
“Pernah, Bu. Tapi itu tidak akan
berlangsung lama. Sikap lunak Danu akan segera hilang jika mendapati ayahnya bersiap
menemui keluarga barunya.”
“Keluarga ... baru?”
Otakku masih menyimpan rekaman itu dengan baik. Raut wajah yang
ditampilkan ibu Danu, bagaimana ia menahan rasa sakitnya sebagai seorang istri
yang dikhianati, dan bagaimana ia harus mengisi stok kesabaran setiap harinya
saat melihat konflik besar antara anak dan suaminya sendiri. Suami yang entah
masih menganggapnya ada atau tidak.
Kala itu matanya memerah, ada sedikit air yang tertahan namun tidak
leluasa keluar, suaranya pun bergetar, sangat sempurna menggambarkan perasaan
pahit seorang wanita yang masih bertahan meskipun jelas-jelas singgasananya
sebagai permaisuri telah direbut oleh wanita lain. Aku sendiri tidak tahu pasti
apa namanya. Kesetiaan, kebodohan, atau apa, aku benar-benar tidak mengerti.
Tidak banyak kalimat yang keluar, namun aku sudah mampu membaca situasinya.
Aku juga tidak tega membiarkan wanita itu banyak bicara yang nantinya hanya
akan menambah kesakitannya. Sore tadi aku memang menyempatkan diri untuk
berbicara dengan ibu Danu saat anak-anak sudah berhasil mengajak Danu keluar
dari kandangnya. Mereka aku minta mengajak Danu ke suatu tempat yang dapat
membuatnya tenang tanpa perlu lari ke hal-hal atau benda-benda yang mengerikan.
Ingatanku pun beralih kepada pembicaraanku dengan Danu sore itu juga.
“Pokoknya besok aku mau lihat
kamu di sekolah.”
“Apa Bu Farin udah kangen berat
sama aku? Hehee ....”
“Nggak usah ke-pede-an kayak
gitu. Aku cuma nggak mau kamu nyusahin guru-guru yang lain karena harus nyiapin
ujian susulan buat kamu.”
“Aku nggak yakin apa mereka masih
peduli sama aku, Bu.”
“Nggak perlu ngomong gitu deh.
Mereka pasti peduli sama kamu. Hanya caranya saja yang berbeda.”
“....”
“Gimana? Ya udah motivasinya
diubah aja. Jangan karena pengen pinter pergi ke sekolahnya. Gimana kalo
motivasinya biar bisa ketemu Bu Anita? Hm?”
“Nggak ah.”
“Terus?”
“Motivasinya biar bisa liat Bu
Farin aja.”
Kalimat terakhir yang dilontarkan Danu berhasil membuat aku
senyum-senyum sendiri tidak jelas. Siapa yang tidak ge-er diperlakukan seperti
itu? Bisa dekat dengan siswa-siswa terpopuler di sekolah padahal tampangku bisa
dibilang tidak menawan sama sekali. Sedangkan teman-teman praktikan yang lain
banyak yang cantik, namun anak-anak itu memilih untuk mengakrabkan diri
denganku.
“Tidak
ada rokok, alkohol, atau apa pun yang dapat menyeret kalian ke liang lahat
lebih cepat. Aku percaya sama kalian.”
Kukirimkan pesan singkat ke nomor ponsel Nizar. Aku masih berharap
mereka tidak berbuat hal-hal konyol yang justru membawa kepada masalah baru.
“Beres boz!”
“Awas saja kalau kalian melanggar aturan mainku,” gumamku setelah
membaca balasan dari Nizar. Sejenak aku berpikir tentang sesuatu. Kubuka daftar
kontak dari ponselku mencari sebuah nama. Tidak butuh waktu lama aku telah
terhubung dengan seseorang.
∞∞∞
Dengan cekatan jariku menggerakkan bolpoin untuk menulis sebuah catatan
di bukuku. Saat ini aku sedang berada di meja guru, tepatnya di kelas XI IPS 2.
Hari ini adalah hari kelima semenjak aku mengunjungi rumah Danu untuk
mengajaknya kembali ke sekolah. Sekilas aku melirik tempat duduknya. Dia tidak
berada di sana. Bukan membolos lagi, tapi Danu sedang berada di ruang
perpustakaan. Dia harus mengerjakan soal-soal dari beberapa mata pelajaran
karena ketidakhadirannya selama ujian tengah semester kemarin.
Pikiranku kembali melayang mengingat pembicaraanku dengan seorang teman
malam itu. Dia adalah salah satu teman lama yang sekarang sedang menyelesaikan
S2 hukumnya di kampus kenamaan di kota Bandung.
“Kalau korban KDRT-nya sendiri
tidak mau buka suara susah, Rin. Pelaku KDRT hanya bisa ditindak kalau
korbannya sendiri yang lapor. Jadi sebagai orang luar kita hanya bisa membujuk
agar korban mau blak-blakan terhadap apa yang dialaminya.”
Kupegangi kepalaku seolah-olah leher ini sudah tidak kuat lagi menopang
saking beratnya. Apa kasus seperti ini telah banyak yang mengalami? Lalu apa
yang mereka lakukan? Belum puas aku berteka-teki di alam pikiranku sendiri,
harus kudongakkan kepalaku karena aku merasa ada yang memperhatikan. Dan benar
saja. Nizar sedang menatapku sekarang. Dia membuka mulutnya tanpa bersuara, namun
aku dapat mengerti apa yang ia ucapkan. “Ngelamunin siapa?” begitu kira-kira
yang dia bilang. Dengan cara yang sama, tanpa bersuara, aku pun menjawab
pertanyaannya. “Yang jelas bukan kamu,” isyaratku lalu tersenyum setelahnya.
Kusingkirkan masalah Danu sejenak untuk kembali berkonsentrasi pada
kelasku. Tidak biasanya siswa-siswa di depanku ini bisa bersikap manis di
tempat duduk masing-masing. Biasanya kelas ini tidak beda jauh dengan pasar
pagi di jam lima subuh. Baguslah, minimal darah tinggiku kali ini tidak kambuh.
“Ada yang sudah selesai? Kalau sudah silakan dikumpulkan.”
∞∞∞
Sudah lebih dari dua jam aku duduk di sini. Namun tujuan utamaku belum
juga tercapai. Rasa kantuk dan pegal sontak saja melandaku. Benar-benar tidak
dapat diterima akal. Bisa-bisanya dosen pembimbing skripsiku membuatku menunggu
selama berjam-jam seperti ini hanya karena ingin melakukan sesuatu yang
menurutku tidak penting. Apakah wajar jika seorang dosen menolak konsultasi
mahasiswanya hanya untuk membaca majalah fashion? Entahlah. Tapi persediaan
kesabaranku sudah mulai di ambang kritis.
Saat ini aku sedang berada di depan ruang dosen. Sebenarnya suasana di
sini tidak terlalu buruk. Pepohonan yang sengaja ditanam untuk menambah kesan
sejuk, tempat-tempat duduk yang dirancang sedemikian rupa sebagai bagian dari
fasilitas mahasiswa ketika ingin menyelesaikan tugas, berdiskusi, sekedar
bercengkerama dengan sesama teman mahasiswa, atau menunggu dosen seperti yang
aku lakukan sekarang ini. Tapi tetap saja ini terlalu menjenuhkan.
Saat sedang memperhatikan sekumpulan mahasiswa yang tengah menikmati
candaan dalam interaksi sosial mereka, tiba-tiba kurasakan ponselku bergetar.
Sebuah panggilan dari seseorang yang sudah aku kenal. Nizar. Sebuah senyum
tipis terukir dari bibirku. Masa-masa menjadi guru praktikan memang telah
terlewatkan tiga bulan yang lalu. Namun aku senang anak-anak itu masih
mengingatku. Sesekali mereka mengirimiku pesan singkat sekedar menyapa atau
berbagi cerita mengenai kegiatan sehari-hari di sekolah.
“Halo,” sapaku setelah kutekan sebuah tombol dari ponselku. Sepuluh
detik pertama aku masih tersenyum, meyakini bahwa hidup begitu indah ketika ada
yang mengingat kita sebagai seorang pengajar sekaligus sebagai teman. Namun
setelah sepuluh detik itu, aku sangat yakin bahwa senyum yang semula terukir
dari wajahku lenyap seketika. “Aku segera ke sana,” ujarku sebelum pembicaraan
kami kuakhiri.
∞∞∞
Empat puluh menit lalu aku masih dikuasai perasaan gelisah dan sebal
ketika harus menunggu seorang dosen untuk mengonsultasikan hasil penelitianku.
Dan sekarang aku telah berdiri di sebuah tempat yang dipenuhi banyak orang. Aku
pernah mendatangi tempat ini. Aku pun masih mengingat apa yang aku lakukan dan
kepada siapa aku berbicara saat aku datang ke sini untuk pertama kali. Tidak pernah
terbesit dalam pikiranku bahwa aku akan datang ke tempat ini lagi dengan
situasi seperti ini. Tidak pernah sekalipun.
Kedekatkan diriku pada sesosok tubuh yang telah terbujur kaku. Di
sekelilingnya telah duduk beberapa orang yang kutahu mereka sedang membaca
ayat-ayat dalam sebuah kitab suci. Mereka sedang mengaji, tentu saja untuk
mendoakan jiwa yang telah tercerabut dari raga yang telah dingin di depanku
ini.
“Bu Astri ...,” ucapku lirih menyebut satu nama. Bu Astri, sosok
perempuan yang paling tegar yang pernah aku kenal. Seseorang yang begitu hangat
namun di hatinya tersimpan luka yang kutahu teramat dalam dan perih. Kututup
mulutku dengan sebelah tanganku, berharap tidak ada tangisan keras yang keluar
karena melihat kenyataan menyakitkan ini. Dia bukan ibuku, bukan saudara atau
kerabatku, dia hanya orang tua dari murid kesayanganku. Tapi rasanya sakit
sekali. Begitu menyesakkan.
Segera kualihkan pendangan untuk mencarinya. Danu. Aku yakin dia pasti
terpukul saat ini. Di sebuah sudut ruangan aku melihat seseorang melambai ke
arahku. Kulihat Nizar, Ridwan, Angga, Salim, Anwar, juga Yudha tengah duduk
dengan wajah lusuh. Di antara mereka terduduk sosok yang sedari tadi aku cari.
Siapa lagi kalau bukan Danu?
Aku mendekat ke arah mereka. Kuhentikan langkahku setelah benar-benar
berada di hadapan Danu. Dia menyadari kehadiranku. Sejenak ia menyuguhkan
senyum untuk menyambutku. Tidak lama, hanya dua detik. Bahkan dalam
kehancurannya dia masih berusaha menampakkan sosok yang hangat di hadapanku.
Kupukul dadaku dengan pelan. Sesak sekali melihatnya seperti ini. Dan tanpa
bisa kutahan lagi akhirnya tangisku pun pecah.
Aku tidak ingin terlihat konyol dan cengeng seperti ini. Selama di
perjalanan menuju ke rumahnya tadi aku selalu meyakinkan diriku sendiri untuk
menjadi sosok yang tegar di depan Danu untuk memberinya semangat dan sedikit
dukungan. Tapi apa? Aku malah lebih lemah dari dia yang sedang hancur. Ibunya
yang paling dia cintai melebihi apa pun di dunia ini, seseorang yang selalu
membuatnya kuat di saat sang ayah selalu berulah dan menyakiti fisik maupun
perasaannya, seseorang yang membuatnya berkeinginan untuk menjadi ayah dan
suami yang baik juga lembut di depan keluarganya kelak, kini hanya diam dan
tidak mungkin lagi tersenyum untuk menenangkan Danu.
Tuhan, kenapa takdir anak ini begitu pahit? Apa yang sebenarnya Kau
persiapkan untuk hidupnya kelak? Bahkan aku merasa seperti benda antik yang
tidak berguna di hadapannya. Tidak dapat melakukan apa-apa untuknya. Saat
kurasakan kakiku sudah tidak mampu lagi menopang beban tubuhku, tiba-tiba
kurasakan sesuatu yang hangat menyentuh jari-jari tanganku. Ternyata sebuah
tangan. Ia meraih telapak tanganku yang kugunakan untuk menutupi wajahku yang
kacau karena menangis.
“Mana Bu Farin yang kuat? Kenapa jadi seperti ini? Bahkan menenangkan
kelas yang isinya berandalan kayak aku aja bisa dilakukannya dengan mudah. Aku
hancur, Bu. Tapi tidak akan lama. Aku tahu ibuku akan tetap memelukku walaupun
raganya sudah di dalam tanah. Dan aku yakin, dia akan lebih bahagia di sana.
Jadi, tersenyumlah, Bu. Tersenyumlah seperti biasa Bu Farin lakukan saat
menghadapi kenakalanku.”
Aku benar-benar tidak percaya orang yang sedang menenangkanku saat ini
adalah Danu. Sambil terus menggenggam tanganku dia menguraikan kalimat luar
biasa seperti tadi. Tapi bukannya diam, tangisanku justru semakin keras. Payah
sekali.
∞∞∞
Kubalik lembar demi lembar surat kabar yang sedang berada di tanganku. Minggu
pagi adalah waktu yang paling menyenangkan untuk bersantai di rumah sambil
mencari berita yang menarik yang telah ditulis para kuli tinta ini. Kusapukan
pandanganku untuk membaca tiap judul berita. Tiba-tiba kurasakan mataku terpaku
pada sebuah titik, sebaris judul berita yang berkaitan dengan kehancuran hidup
seseorang.
“PELAKU PEMBUNUHAN SADIS DI DESA TRUNAJAYA TERNYATA SUAMI KORBAN”
Desa Trunajaya adalah tempat tinggal Danu. Dengan cekatan kubaca isi
berita seluruhnya. Dugaanku benar. Kasus yang dimaksud memang kasus yang pernah
menimpa Bu Astri, ibu Danu. Sudah satu bulan berlalu sejak kematiannya, namun
polisi baru menangkap pelakunya yang tidak lain ayah Danu sendiri.
Sebelumnya aku sudah mendengar bahwa kematian Bu Astri disebabkan
penganiayaan berat yang dialaminya. Kepalanya hancur akibat dipukul benda
tumpul berkali-kali. Danu sendiri yang menceritakan hal ini. Dan ia sudah tahu
bahwa pelakunya adalah sang ayah. Pada saat malam kejadian, Danu sedang
menginap di rumah Salim sehingga persis kejadiannya ia tidak tahu.
Siang hari ketika ia kembali ke rumah, ia mendapati ibunya sudah
terbujur kaku bersimbah darah. Tidak ada yang bisa ia lakukan saat itu selain
menunggu kepastian dari polisi. Dan setelah tertangkapnya sang ayah sekarang,
aku harap Danu bisa sedikit bernapas lega.
Segera kuambil ponsel yang berada di dalam saku celanaku. Dengan cepat
kuhubungi seseorang. Tidak butuh waktu lama untuk mendengarkan sang pemilik
nomor berbicara di sambungan teleponku. “Aku tahu apa yang Bu Farin mau
bicarakan. Aku sudah tahu, Bu. Semalam polisi udah ngasih tau langsung kalo dia
udah ketangkep. Jadi Bu Farin udah bisa tenang, karena apa yang dikhawatirkan
nggak terjadi. Aku nggak sepicik itu, Bu. Ngapain mesti capek-capek nyariin dia
hanya buat balas dendam? Aku nggak pengen ibuku kecewa sama aku di sana.”
Aku hanya tersenyum menanggapi ucapan Danu. Hanya kalimat singkat yang
dapat aku lontarkan sebelum panggilan ini kututup. “Kamu tau apa yang nggak
pernah aku sesali selama hidup? Ketemu sama bocah-bocah tengil hebat macam
kalian.”
∞∞∞
∞∞∞
Tidak ada komentar:
Posting Komentar