Saat otak sedang disesaki dengan
setumpuk permasalahan di tempat kerja dan otot-otot pipi sudah ingin sekali
tersenyum, maka inilah yang akhirnya muncul. Ide gila yang menjadi karya gila,
dan tentu saja ditulis oleh seseorang yang mendekati gila.
∞∞∞
Asmara Genk Karung
Nampaknya langit sedang ingin berbagi teduh untuk
seluruh penghuni kota metropolitan ini. Matahari tidak begitu terik, tidak pula
awan mendung terlihat. Benar-benar cuaca yang mendukung bagi siapa pun yang
ingin bercengkerama dengan seisi kota sekedar mengadakan penjelajahan kecil.
Cuaca yang mendamaikan ini pun dimanfaatkan oleh sekelompok pemuda labil yang
mengaku sebagai mahasiswa sebuah kampus elit untuk berinteraksi dan mengeratkan
jalinan pertemanan mereka. Baiklah, mungkin itu sedikit berlebihan. Sebenarnya,
sekelompok pemuda ini hanya melakukan rutinitas sehari-hari saat jeda kelas
atau bahkan membolos dari mata kuliah yang dianggap membuat alergi buat otak
mereka.
“Pada ngapain sih? Arisan tante-tante udah kemarin
sore, bukannya hari ini,” celetuk salah satu dari mereka yang jika dilihat
sekilas mungkin orang akan mengira ia keponakannya Rano Karno. Pemilik tahi
lalat di dagu ini baru saja selesai mengikuti mata kuliah Religi Indonesia.
“Arisan pale lu! Kita lagi ngomongin
gimana caranya ngilangin tahi lalat lu yang segede tutup rantang itu selain
pake cara operasi,” jawab asal salah seorang temannya yang biasa dipanggil Ato.
“Yaelah, ngapa bawa-bawa tahi lalat sih?” protes
pemuda yang diketahui bernama Lodi ini sambil noyor kepala Ato. “Heh kagak sopan banget ni anak! Lu kan tiap
minggu dapet mata kuliah Etika Sosial. Mestinya tau kalo pegang-pegang kepala
orang yang lebih tua tu kagak masuk etika orang Indonesia.”
“Berisik! Mau gantiin Pak Lukman lu, To? Pake
bawa-bawa kuliah segala,” sahut salah seorang yang lain yang sedari tadi asyik
mendengarkan lagu-lagunya Iwan Fals dari ipad putih miliknya. Di kelompoknya,
cowok yang bernama Berry ini mendapat peringkat kedua dalam hal ketampanan.
Peringkat pertama, tentu saja sang ketua genk, Valdi. “Daripada berisik nggak
penting mending kalian cari ide buat agenda kegiatan kita minggu ini. Senin
kayak gini pasti gue ketiban penyakit bosen sama males,” sahut Valdi menengahi
perdebatan rekan-rekan seperjuangannya. “Lagak lu kayak sekretaris lurah, pake
agenda kegiatan. Tau deh kalo senin pasti lu nggak minat ngapa-ngapain. Tadi aja
di kuliahnya Pak Basir lu tidur mulu,” jelas Ato yang sudah menghabiskan lima
bungkus keripik kentang kesukaannya.
Pembicaraan ringan keempat pemuda ini terus berlanjut.
Sesekali terlihat salah seorang di antara mereka menganiaya yang lain, sekedar
menendang tulang kering atau menjambak poni lawan bicaranya. Gazebo yang
terletak di sebelah kantin fakultas sosial ini memang menjadi tempat favorit
Valdi dan kawan-kawan. Di lingkungan kampusnya, genk Karung, begitu Lodi
menamakan kelompok kecilnya ini, dikenal sebagai magnet hidup bagi kaum hawa
yang menyukai makhluk berjuluk “cowok tampan lagi tajir”. Entah wangsit apa
yang menghampiri Lodi kala menamakan genknya dengan sebutan aneh itu, tapi yang
jelas, keempat anggota genk Karung adalah anak dari keluarga kaya yang
masing-masing dianugerahi wajah tampan. Mungkin sebelum Valdi membentuk genknya
ini ia terinspirasi dari drama Boys Over Flowers-nya Lee Minho dan ketiga
sahabat tampannya itu.
Tinggalkan Lee Minho, kembali lagi ke Ato yang
masih sibuk dengan cemilannya. Seusai mata kuliah Budaya Jawa tadi memang Ato
menyempatkan diri mampir ke kantin untuk membeli delapan bungkus keripik
kentang.
“Kayak biasa aja. Kita bersaing memperebutkan cewek
termanis di kampus kita,” seloroh Ato memberikan ide. “Siapa, To?” tanya Lodi.
“Ah, bosen gue. Ujung-ujungnya pasti Valdi yang menang,” celetuk Berry sebelum
pertanyaan Lodi dijawab Ato. “Lu pikir gue lagi minat. Males juga. Lagian gue
lagi bokek, nggak mood ngeluarin
modal buat cewek-cewek matre itu,” sang cassanova,
Valdi, segera menimpali ketidaksetujuan Berry. “Terus gimana? Apa mesti kita
taruhan buat macarin cewek terjelek di kampus kita? Nggak mungkin ‘kan?” sergah
Ato sambil mengunyah keping keripik terakhirnya. Seketika ketiga temannya yang
lain menoleh ke arahnya dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. Merasa
diperhatikan seperti itu, Ato pun menggeleng-gelengkan kepalanya karena
mengerti apa yang dipikirkan teman-temannya. “Kagak, kagak deh. Tadi gue Cuma
becanda. Kagak serius. Lupain! Oke?!”
“Brilian lu, To!” kompak tiga Karung yang lain
berseru kepada Ato. “Kagaaaakkkkk...!!!!”
∞∞∞
Putra seorang pengusaha cafe di kota kembang
Bandung itu nampak berpikir tentang sesuatu. Sesekali ia melirik jam tangan
seharga sembilan ratus ribu yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Saat
ini ia sedang berdiri di bawah pohon akasia yang menjulang tepat di belakang
gedung dekanat. Pengalaman seperti ini bukanlah yang pertama baginya. Sudah
sering ia melakukannya. Menunggu seseorang.
“Apa orang yang menulis pesan ini kamu?” tanya
seorang gadis seraya memperlihatkan sebuah kertas memo berwarna biru. Sontak
pria yang bertahi lalat di dagu ini berbalik untuk memastikan siapa yang
berbicara dengannya. “Emang ada orang lain yang bernama Lodi di kampus ini
selain gue? Dan jangan bilang kalo lu nggak tau gue,” Lodi menjawab pertanyaan
lawan bicaranya dengan sedikit malas. Gadis yang namanya baru diketahui Lodi
sejak tiga puluh menit yang lalu ini mengernyit tidak percaya.
“Udah nggak usah pasang tampang nggak percaya
gitu. Lu yang namanya Betty kan? Mau nggak jadi pacar gue?”
“Ha?!”
“Gue anggep itu artinya ‘ya’,”
“Haaa?!”
∞∞∞
Dua buah buku telah berada di genggamannya. Dilihat
dari sampulnya, pemuda ini nampaknya ingin memperdalam wawasannya tentang hukum
perdata. Sekilas memang tidak ada yang aneh dengan apa yang ia lakukan terlebih
saat ini ia sedang berada di perpustakaan fakultas hukum. Namun akan menjadi
hal yang aneh jika siapa pun menyadari bahwa pemuda yang mengenakan kemeja
kotak-kotak berwarna hijau tua ini adalah Ato, mahasiswa jurusan Antropologi,
yang tidak sedang mempunyai tugas berkaitan dengan hukum.
Brukk. “Ah, maaf,” seorang gadis berkaca mata nampak
sibuk mengambil beberapa buku yang terjatuh dari tangannya, termasuk buku yang
dipegang Ato sejak tadi. “Nggak apa-apa. Tadi aku yang nggak liat jalan,” sahut
Ato ramah. Sejenak ia memperhatikan penampilan gadis ini. Rambut bergelombang
yang sedikit berantakan, atasan bermotif bunga-bunga dengan warna kuning yang
mendominasi, rok coklat tua di bawah lutut, sepatu tanpa heels yang warna
hitamnya sudah pudar, serta kaca mata minus yang bertengger di atas batang
hidungnya. “Ini orang asalnya dari zaman Majapahit apa ya? Culun banget,” pikir
Ato.
Seketika muncul seringaian aneh di wajah Ato.
Terlintas ide konyol dalam benaknya. “Em.. sepertinya tanganku agak terkilir
karena kamu menabrakku tadi.”
“Apakah parah? Maaf sekali lagi,” muncul ekspresi
tidak enak dari raut wajah seorang Rahma.
“Gimana ya? Maaf nggak bisa nyembuhin tanganku,”
jawab Ato sambil memasang tampang pura-pura berpikir. “Kamu harus nyembuhin
dengan cara lain,” lanjutnya.
“Apa?” tanya gadis jurusan hukum yang sekarang
menginjak semester tiga ini.
“Jadi pacarku sekarang,” jawab Ato tanpa basa-basi.
“Apa?!!!”
“Apa telingamu sedang ada gangguan? Jadilah pacarku
sekarang! Udah denger?!” sergah Ato sambil beranjak keluar perpustakaan, meninggalkan
Rahma yang masih melongo tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
∞∞∞
Brakk! Pintu kelas itu tiba-tiba dibuka dengan
keras oleh sesorang. “Mana yang namanya Selly?!” tanya Berry dengan suara
lantang di dalam ruang kuliah yang diisi penuh oleh mahasiswa Ekonomi
Pembangunan. Saat ini sang dosen memang belum datang, sehingga Berry tidak
harus menanggung malu atau bahkan merasakan lemparan sepatu Pak Mulya, dosen statistik
dari jurusan ekonomi, karena mengganggu aktivitas mengajarnya. Seketika semua
mata terarah pada sebuah titik. Di tempat duduk pojok kiri paling depan. Berry pun
mengikuti arah pandang para mahasiswa tersebut.
“Yang bener aja,” gumam Berry. Kini ia sedang
melihat sesosok wanita yang ia sendiri tidak yakin apakah orang ini berasal
dari bumi ataukah planet lain yang belum diketahui keberadaannya. Rambut
dikuncir ekor kuda, wajah yang bulat dengan jerawat di sana-sini, serta blues
ketat berwarna merah muda yang modelnya sangat trendy ... untuk lima belas
tahun yang lalu. Melihat ukuran lengan dan pipi wanita ini, Berry memperkirakan
berat badannya sekitar 70 kilogram, atau mungkin lebih.
Kelas masih hening. Dan dengan satu kalimat singkat
yang dilantangkan Berry beberapa detik kemudian, kelas yang tadinya lebih sepi
dibandingkan kuburan, menjadi ramai serupa terminal di jam satu siang. “Selly,
mulai sekarang lu jadi pacar gue!”
∞∞∞
“Gue udah liat lima cewek yang lu rekomendasiin.
Masak kayak gitu semua sih wujudnya?”
“Iya gue tau, tapi kan jeleknya nggak gitu-gitu
juga kalee ....”
“Ya udah, ntar gue pilih salah satu. Tapi inget ya,
motor sport lu buat gue. Hehee ...”
“Ah, berisik lu! Pasti gue yang menang.”
Dengan sekali gerakan jari, pembicaraan dua orang
itu segera terakhiri. Pemuda tampan ini segera memasukkan smartphone hitam
miliknya ke dalam saku celana usai berbicara dengan sahabatnya, Berry. Kini ia
tengah berdiri di depan ruang dosen jurusan pendidikan sosial. Ketika hendak
berbalik melanjutkan langkah, tiba-tiba ia berhenti. Di depannya sedang berdiri
seorang gadis yang juga tengah intens menatapnya. Tanpa pikir panjang Valdi
menghampiri gadis ini.
Bett...
Tanpa izin Valdi mengambil sesuatu yang tengah
dipegang sang gadis. “Ini buat gue. Lu beli aja lagi.” Dengan tenangnya Valdi
melahap es krim cokelat yang baru saja ia rampas sambil berlalu begitu saja
dari hadapan korban perampasan itu. Sebelum benar-benar pergi, Valdi
mengucapkan beberapa kata. “Eh, lu jadi pacar gue ya? Ntar sore kita pulang
bareng. Siapa nama lu?” Terlalu shock. Gadis berkepang dua itu tidak sanggup berkata
apa-apa.
“Eh gue tanya, nama lu siapa? Gangguan kuping ya?”
“Vonny,” akhirnya ia pun membuka suara.
“Gue Valdi. Lu tau gue kan? Pasti lah. Di kampus
ini siapa yang nggak tau gue. Cari tau nomor HP gue ke temen-temen lu. Habis
itu calling gue secepatnya.”
Lagi-lagi Valdi membuat gadis itu hanya bisa
melongo hebat.
∞∞∞
“Huwaahhh ....” Ato membuang napas panjang sembari
meregangkan otot-otot lengannya yang terasa kaku. “Kalo nggak karena motor
sport lu, Ber, nggak bakal gue nglakuin hal konyol kayak gini. Bener-bener
ngrusak sejarah asmara gue. Macarin cewek kayak Rahma. Mending ikut perang
Diponegoro gue.”
“Lu pikir gue nggak mules, To? Lu tau nggak si
Selly tu kayak apa? Kayaknya kita bertiga digabungin belum tentu bisa ngalahin
berat badannya tu anak. Penuh banget bro badannya. Macam nggandeng angkot dah,”
keluh Berry sambil terkekeh membayangkan dirinya berkencan dengan seorang
Selly.
“Ya udah lah. Kita kan udah sepakat. Siapa yang
paling duluan disosor ama tu cewek-cewek aneh, dia yang berhak dapetin motornya
Berry,” sambung Lodi. “Tapi apa nggak ada cara lain selain itu? Mbayangin gue
dicium sama yang namanya Poni, Koni, Roni, atau siapa lah tu, ah ... ngeri bro!
Hahahaaa ...!” seloroh Valdi disambut tawa dari anggota genk Karung yang lain.
Belum usai mereka merayakan imajinasi konyol
tentang pacar-pacar barunya itu, tiba-tiba ....
Grepp ...
Sebuah tangan mencengkeram bahu Berry. “Kalo gue
nyosor lu berempat sekarang gimana? Apa gue bisa dapetin motor lu ... Berry?”
Sontak si pemilik bahu, Berry, menoleh ke belakang untuk mencari tahu siapa
yang baru saja melontarkan pertanyaan itu kepadanya. Betapa terkejutnya ia,
karena ternyata pelakunya tidak lain dan tidak bukan adalah Selly, gadis yang
dua jam lalu baru dipacarinya.
Tidak hanya Berry, ketiga sahabatnya pun ikut
terkejut karena mendapati Betty, Rahma, dan Vonny tengah berdiri dengan tatapan
garang di belakang Selly.
“Gimana? Apa kita bisa dapetin hadiah taruhan itu
sekarang juga?” Betty mengulangi pertanyaan Selly yang membuat Lodi menelan
ludah dengan susah payah.
“Apa bener Bang Ato ini pengen banget aku cium?
Padahal aku nggak cantik lho, Bang,” tanya Rahma sambil mendekatkan wajahnya ke
hadapan Ato. Tentu saja bukan pertanyaan yang butuh jawaban karena Rahma
melontarkan pertanyaan itu sambil memasang ekspresi seolah-olah ingin menelan
Ato hidup-hidup.
“Valdi yang ganteng, mana ada orang nyolong es krim pacarnya ndiri? Apa duit
lu udah habis buat ngongkosin mantan-mantan lu yang matre itu sampe-sampe beli
es krim aja nggak mampu? Tapi bentar lagi dapet motor kan? Berarti bisa bayar
es krimku tadi donk? O ya, namaku Vonny, bukan Poni, Koni, apalagi Roni. Inget
baik-baik ya,” Vonny ikut sumbang suara yang tentu saja ditujukan khusus untuk
Valdi.
“Sebenernya gue nggak pengen bicara kayak gini. Gue
bukan tipe orang yang suka pamer kayak elu-elu pada, atau cewek-cewek borjuis
yang pernah elu-elu pacarin. Tapi terpaksa, karena gue ngerasa harga diri
kita-kita udah lu remehin. Apa lu pernah denger dekan kita, Pak Hasan, dia
punya anak perempuan semata wayang yang jadi mahasiswa di jurusan pendidikan
sosial. Itu gue. Gue yang elu anggep sebagai cewek terjelek di kampus kita,
Valdi sayang,” jelas Vonny yang seketika membuat wajah Valdi merah padam.
“Selly, dia ini keponakan dari kepala jurusan
ekonomi, Bu Linda. Rahma, dia bukan anak orang penting di kampus ini. Tapi dia
adalah assdos-nya Pak Luthfi. Dan dengan sekali ngadu aja, Pak Luthfi bisa
nggak lulusin makul filosofi hukum lu, Berry. Kalo Betty, siap-siap pasang
kuping ya. Dia ini putri sulungnya pak rektor kita yang terhormat, Pak Makhsum.
Bukan anak angkat, bukan anak tiri, tapi anak kandung,” penjelasan Vonny
berikutnya benar-benar membuat jantung keempat pemuda ini serasa ingin melompat
dari tempatnya.
“Jadi, siapa duluan yang pengen kita cium? Atau
mungkin digrepe-grepe dulu?” sambung Selly dengan seringaian terangkernya.
AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA ............
Tanpa aba-aba keempat pemuda itu lari tunggang
langgang menyelamatkan harga diri dan segenap rasa malu yang muncul tak
terkendali. Hanya dalam waktu kurang dari empat jam, agenda mingguan genk
Karung pun hancur lebur menyisakan kesan yang tak terlupakan seumur hidup
mereka.
∞∞∞
Tiga puluh
menit sebelumnya ....
“Gue ditembak
Ato di perpustakaan tadi. Gue udah ngira dia cuma pura-pura menjatuhkan buku.
Hahh ... Kalo lu gimana, Bet?”
“Lodi sok-sok
an ngirimin gue memo. Karena pengen tau ya gue dateng aja ke tempat yang ia
bilang. Ternyata mau nembak gue.”
“Kalian tau
nggak apa yang Berry lakuin tadi? Bener-bener konyol. Nembak gue di depan
anak-anak waktu di kelas. Dia pikir dia tu Romeo apa? Gila tu anak.”
“Terus si
Vonny mana nih? Katanya dia mau cari tau sebenernya apa yang terjadi. Nggak ada
angin nggak ada hujan tiba-tiba nembak kita. Kurang kerjaan banget,”
Dengan
terengah-engah Vonny pun menghampiri teman-temannya. Dia menceritakan semua
informasi yang ia peroleh dari seluruh penghuni kampus bahwa genk Karung sedang
mengadakan taruhan untuk memacari cewek yang dianggap paling jelek. Tapi Vonny
tidak mendapat informasi tentang taruhan apa yang dilancarkan keempat pemuda
tengik itu.
“Baiklah,
kita beri mereka pelajaran. Seenaknya nganggep kita paling jelek. Dipikirnya
mereka itu titisannya Brad Pitt apa? Cih, mimpi kali,” ujar Selly dengan penuh
emosi.
“Kita cincang
mereka!”
“Kita telan
hidup-hidup!”
“Jangan
sisakan secuil pun kulit ari mereka!”
“Ayooo...!!!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar