Minggu, 13 Oktober 2013

CERPEN (NGAWUR)



Saat otak sedang disesaki dengan setumpuk permasalahan di tempat kerja dan otot-otot pipi sudah ingin sekali tersenyum, maka inilah yang akhirnya muncul. Ide gila yang menjadi karya gila, dan tentu saja ditulis oleh seseorang yang mendekati gila.
∞∞∞
Asmara Genk Karung

Nampaknya langit sedang ingin berbagi teduh untuk seluruh penghuni kota metropolitan ini. Matahari tidak begitu terik, tidak pula awan mendung terlihat. Benar-benar cuaca yang mendukung bagi siapa pun yang ingin bercengkerama dengan seisi kota sekedar mengadakan penjelajahan kecil. Cuaca yang mendamaikan ini pun dimanfaatkan oleh sekelompok pemuda labil yang mengaku sebagai mahasiswa sebuah kampus elit untuk berinteraksi dan mengeratkan jalinan pertemanan mereka. Baiklah, mungkin itu sedikit berlebihan. Sebenarnya, sekelompok pemuda ini hanya melakukan rutinitas sehari-hari saat jeda kelas atau bahkan membolos dari mata kuliah yang dianggap membuat alergi buat otak mereka.
“Pada ngapain sih? Arisan tante-tante udah kemarin sore, bukannya hari ini,” celetuk salah satu dari mereka yang jika dilihat sekilas mungkin orang akan mengira ia keponakannya Rano Karno. Pemilik tahi lalat di dagu ini baru saja selesai mengikuti mata kuliah Religi Indonesia. “Arisan pale lu! Kita lagi ngomongin gimana caranya ngilangin tahi lalat lu yang segede tutup rantang itu selain pake cara operasi,” jawab asal salah seorang temannya yang biasa dipanggil Ato.
“Yaelah, ngapa bawa-bawa tahi lalat sih?” protes pemuda yang diketahui bernama Lodi ini sambil noyor kepala Ato. “Heh kagak sopan banget ni anak! Lu kan tiap minggu dapet mata kuliah Etika Sosial. Mestinya tau kalo pegang-pegang kepala orang yang lebih tua tu kagak masuk etika orang Indonesia.”
“Berisik! Mau gantiin Pak Lukman lu, To? Pake bawa-bawa kuliah segala,” sahut salah seorang yang lain yang sedari tadi asyik mendengarkan lagu-lagunya Iwan Fals dari ipad putih miliknya. Di kelompoknya, cowok yang bernama Berry ini mendapat peringkat kedua dalam hal ketampanan. Peringkat pertama, tentu saja sang ketua genk, Valdi. “Daripada berisik nggak penting mending kalian cari ide buat agenda kegiatan kita minggu ini. Senin kayak gini pasti gue ketiban penyakit bosen sama males,” sahut Valdi menengahi perdebatan rekan-rekan seperjuangannya. “Lagak lu kayak sekretaris lurah, pake agenda kegiatan. Tau deh kalo senin pasti lu nggak minat ngapa-ngapain. Tadi aja di kuliahnya Pak Basir lu tidur mulu,” jelas Ato yang sudah menghabiskan lima bungkus keripik kentang kesukaannya.
Pembicaraan ringan keempat pemuda ini terus berlanjut. Sesekali terlihat salah seorang di antara mereka menganiaya yang lain, sekedar menendang tulang kering atau menjambak poni lawan bicaranya. Gazebo yang terletak di sebelah kantin fakultas sosial ini memang menjadi tempat favorit Valdi dan kawan-kawan. Di lingkungan kampusnya, genk Karung, begitu Lodi menamakan kelompok kecilnya ini, dikenal sebagai magnet hidup bagi kaum hawa yang menyukai makhluk berjuluk “cowok tampan lagi tajir”. Entah wangsit apa yang menghampiri Lodi kala menamakan genknya dengan sebutan aneh itu, tapi yang jelas, keempat anggota genk Karung adalah anak dari keluarga kaya yang masing-masing dianugerahi wajah tampan. Mungkin sebelum Valdi membentuk genknya ini ia terinspirasi dari drama Boys Over Flowers-nya Lee Minho dan ketiga sahabat tampannya itu.
Tinggalkan Lee Minho, kembali lagi ke Ato yang masih sibuk dengan cemilannya. Seusai mata kuliah Budaya Jawa tadi memang Ato menyempatkan diri mampir ke kantin untuk membeli delapan bungkus keripik kentang.
“Kayak biasa aja. Kita bersaing memperebutkan cewek termanis di kampus kita,” seloroh Ato memberikan ide. “Siapa, To?” tanya Lodi. “Ah, bosen gue. Ujung-ujungnya pasti Valdi yang menang,” celetuk Berry sebelum pertanyaan Lodi dijawab Ato. “Lu pikir gue lagi minat. Males juga. Lagian gue lagi bokek, nggak mood ngeluarin modal buat cewek-cewek matre itu,” sang cassanova, Valdi, segera menimpali ketidaksetujuan Berry. “Terus gimana? Apa mesti kita taruhan buat macarin cewek terjelek di kampus kita? Nggak mungkin ‘kan?” sergah Ato sambil mengunyah keping keripik terakhirnya. Seketika ketiga temannya yang lain menoleh ke arahnya dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. Merasa diperhatikan seperti itu, Ato pun menggeleng-gelengkan kepalanya karena mengerti apa yang dipikirkan teman-temannya. “Kagak, kagak deh. Tadi gue Cuma becanda. Kagak serius. Lupain! Oke?!”
“Brilian lu, To!” kompak tiga Karung yang lain berseru kepada Ato. “Kagaaaakkkkk...!!!!”
∞∞∞
Putra seorang pengusaha cafe di kota kembang Bandung itu nampak berpikir tentang sesuatu. Sesekali ia melirik jam tangan seharga sembilan ratus ribu yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Saat ini ia sedang berdiri di bawah pohon akasia yang menjulang tepat di belakang gedung dekanat. Pengalaman seperti ini bukanlah yang pertama baginya. Sudah sering ia melakukannya. Menunggu seseorang.
“Apa orang yang menulis pesan ini kamu?” tanya seorang gadis seraya memperlihatkan sebuah kertas memo berwarna biru. Sontak pria yang bertahi lalat di dagu ini berbalik untuk memastikan siapa yang berbicara dengannya. “Emang ada orang lain yang bernama Lodi di kampus ini selain gue? Dan jangan bilang kalo lu nggak tau gue,” Lodi menjawab pertanyaan lawan bicaranya dengan sedikit malas. Gadis yang namanya baru diketahui Lodi sejak tiga puluh menit yang lalu ini mengernyit tidak percaya.
“Udah nggak usah pasang tampang nggak percaya gitu. Lu yang namanya Betty kan? Mau nggak jadi pacar gue?”
“Ha?!”
“Gue anggep itu artinya ‘ya’,”
“Haaa?!”
∞∞∞
Dua buah buku telah berada di genggamannya. Dilihat dari sampulnya, pemuda ini nampaknya ingin memperdalam wawasannya tentang hukum perdata. Sekilas memang tidak ada yang aneh dengan apa yang ia lakukan terlebih saat ini ia sedang berada di perpustakaan fakultas hukum. Namun akan menjadi hal yang aneh jika siapa pun menyadari bahwa pemuda yang mengenakan kemeja kotak-kotak berwarna hijau tua ini adalah Ato, mahasiswa jurusan Antropologi, yang tidak sedang mempunyai tugas berkaitan dengan hukum.
Brukk. “Ah, maaf,” seorang gadis berkaca mata nampak sibuk mengambil beberapa buku yang terjatuh dari tangannya, termasuk buku yang dipegang Ato sejak tadi. “Nggak apa-apa. Tadi aku yang nggak liat jalan,” sahut Ato ramah. Sejenak ia memperhatikan penampilan gadis ini. Rambut bergelombang yang sedikit berantakan, atasan bermotif bunga-bunga dengan warna kuning yang mendominasi, rok coklat tua di bawah lutut, sepatu tanpa heels yang warna hitamnya sudah pudar, serta kaca mata minus yang bertengger di atas batang hidungnya. “Ini orang asalnya dari zaman Majapahit apa ya? Culun banget,” pikir Ato.
Seketika muncul seringaian aneh di wajah Ato. Terlintas ide konyol dalam benaknya. “Em.. sepertinya tanganku agak terkilir karena kamu menabrakku tadi.”
“Apakah parah? Maaf sekali lagi,” muncul ekspresi tidak enak dari raut wajah seorang Rahma.
“Gimana ya? Maaf nggak bisa nyembuhin tanganku,” jawab Ato sambil memasang tampang pura-pura berpikir. “Kamu harus nyembuhin dengan cara lain,” lanjutnya.
“Apa?” tanya gadis jurusan hukum yang sekarang menginjak semester tiga ini.
“Jadi pacarku sekarang,” jawab Ato tanpa basa-basi.
“Apa?!!!”
“Apa telingamu sedang ada gangguan? Jadilah pacarku sekarang! Udah denger?!” sergah Ato sambil beranjak keluar perpustakaan, meninggalkan Rahma yang masih melongo tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
∞∞∞
Brakk! Pintu kelas itu tiba-tiba dibuka dengan keras oleh sesorang. “Mana yang namanya Selly?!” tanya Berry dengan suara lantang di dalam ruang kuliah yang diisi penuh oleh mahasiswa Ekonomi Pembangunan. Saat ini sang dosen memang belum datang, sehingga Berry tidak harus menanggung malu atau bahkan merasakan lemparan sepatu Pak Mulya, dosen statistik dari jurusan ekonomi, karena mengganggu aktivitas mengajarnya. Seketika semua mata terarah pada sebuah titik. Di tempat duduk pojok kiri paling depan. Berry pun mengikuti arah pandang para mahasiswa tersebut.
“Yang bener aja,” gumam Berry. Kini ia sedang melihat sesosok wanita yang ia sendiri tidak yakin apakah orang ini berasal dari bumi ataukah planet lain yang belum diketahui keberadaannya. Rambut dikuncir ekor kuda, wajah yang bulat dengan jerawat di sana-sini, serta blues ketat berwarna merah muda yang modelnya sangat trendy ... untuk lima belas tahun yang lalu. Melihat ukuran lengan dan pipi wanita ini, Berry memperkirakan berat badannya sekitar 70 kilogram, atau mungkin lebih.
Kelas masih hening. Dan dengan satu kalimat singkat yang dilantangkan Berry beberapa detik kemudian, kelas yang tadinya lebih sepi dibandingkan kuburan, menjadi ramai serupa terminal di jam satu siang. “Selly, mulai sekarang lu jadi pacar gue!”
∞∞∞
“Gue udah liat lima cewek yang lu rekomendasiin. Masak kayak gitu semua sih wujudnya?”
“Iya gue tau, tapi kan jeleknya nggak gitu-gitu juga kalee ....”
“Ya udah, ntar gue pilih salah satu. Tapi inget ya, motor sport lu buat gue. Hehee ...”
“Ah, berisik lu! Pasti gue yang menang.”
Dengan sekali gerakan jari, pembicaraan dua orang itu segera terakhiri. Pemuda tampan ini segera memasukkan smartphone hitam miliknya ke dalam saku celana usai berbicara dengan sahabatnya, Berry. Kini ia tengah berdiri di depan ruang dosen jurusan pendidikan sosial. Ketika hendak berbalik melanjutkan langkah, tiba-tiba ia berhenti. Di depannya sedang berdiri seorang gadis yang juga tengah intens menatapnya. Tanpa pikir panjang Valdi menghampiri gadis ini.
Bett...
Tanpa izin Valdi mengambil sesuatu yang tengah dipegang sang gadis. “Ini buat gue. Lu beli aja lagi.” Dengan tenangnya Valdi melahap es krim cokelat yang baru saja ia rampas sambil berlalu begitu saja dari hadapan korban perampasan itu. Sebelum benar-benar pergi, Valdi mengucapkan beberapa kata. “Eh, lu jadi pacar gue ya? Ntar sore kita pulang bareng. Siapa nama lu?” Terlalu shock. Gadis berkepang dua itu tidak sanggup berkata apa-apa.
“Eh gue tanya, nama lu siapa? Gangguan kuping ya?”
“Vonny,” akhirnya ia pun membuka suara.
“Gue Valdi. Lu tau gue kan? Pasti lah. Di kampus ini siapa yang nggak tau gue. Cari tau nomor HP gue ke temen-temen lu. Habis itu calling gue secepatnya.” 
Lagi-lagi Valdi membuat gadis itu hanya bisa melongo hebat.
∞∞∞
“Huwaahhh ....” Ato membuang napas panjang sembari meregangkan otot-otot lengannya yang terasa kaku. “Kalo nggak karena motor sport lu, Ber, nggak bakal gue nglakuin hal konyol kayak gini. Bener-bener ngrusak sejarah asmara gue. Macarin cewek kayak Rahma. Mending ikut perang Diponegoro gue.”
“Lu pikir gue nggak mules, To? Lu tau nggak si Selly tu kayak apa? Kayaknya kita bertiga digabungin belum tentu bisa ngalahin berat badannya tu anak. Penuh banget bro badannya. Macam nggandeng angkot dah,” keluh Berry sambil terkekeh membayangkan dirinya berkencan dengan seorang Selly.
“Ya udah lah. Kita kan udah sepakat. Siapa yang paling duluan disosor ama tu cewek-cewek aneh, dia yang berhak dapetin motornya Berry,” sambung Lodi. “Tapi apa nggak ada cara lain selain itu? Mbayangin gue dicium sama yang namanya Poni, Koni, Roni, atau siapa lah tu, ah ... ngeri bro! Hahahaaa ...!” seloroh Valdi disambut tawa dari anggota genk Karung yang lain.
Belum usai mereka merayakan imajinasi konyol tentang pacar-pacar barunya itu, tiba-tiba ....
Grepp ...
Sebuah tangan mencengkeram bahu Berry. “Kalo gue nyosor lu berempat sekarang gimana? Apa gue bisa dapetin motor lu ... Berry?” Sontak si pemilik bahu, Berry, menoleh ke belakang untuk mencari tahu siapa yang baru saja melontarkan pertanyaan itu kepadanya. Betapa terkejutnya ia, karena ternyata pelakunya tidak lain dan tidak bukan adalah Selly, gadis yang dua jam lalu baru dipacarinya.
Tidak hanya Berry, ketiga sahabatnya pun ikut terkejut karena mendapati Betty, Rahma, dan Vonny tengah berdiri dengan tatapan garang di belakang Selly.
“Gimana? Apa kita bisa dapetin hadiah taruhan itu sekarang juga?” Betty mengulangi pertanyaan Selly yang membuat Lodi menelan ludah dengan susah payah.
“Apa bener Bang Ato ini pengen banget aku cium? Padahal aku nggak cantik lho, Bang,” tanya Rahma sambil mendekatkan wajahnya ke hadapan Ato. Tentu saja bukan pertanyaan yang butuh jawaban karena Rahma melontarkan pertanyaan itu sambil memasang ekspresi seolah-olah ingin menelan Ato hidup-hidup.
“Valdi yang ganteng, mana ada orang nyolong es krim pacarnya ndiri? Apa duit lu udah habis buat ngongkosin mantan-mantan lu yang matre itu sampe-sampe beli es krim aja nggak mampu? Tapi bentar lagi dapet motor kan? Berarti bisa bayar es krimku tadi donk? O ya, namaku Vonny, bukan Poni, Koni, apalagi Roni. Inget baik-baik ya,” Vonny ikut sumbang suara yang tentu saja ditujukan khusus untuk Valdi.
“Sebenernya gue nggak pengen bicara kayak gini. Gue bukan tipe orang yang suka pamer kayak elu-elu pada, atau cewek-cewek borjuis yang pernah elu-elu pacarin. Tapi terpaksa, karena gue ngerasa harga diri kita-kita udah lu remehin. Apa lu pernah denger dekan kita, Pak Hasan, dia punya anak perempuan semata wayang yang jadi mahasiswa di jurusan pendidikan sosial. Itu gue. Gue yang elu anggep sebagai cewek terjelek di kampus kita, Valdi sayang,” jelas Vonny yang seketika membuat wajah Valdi merah padam.
“Selly, dia ini keponakan dari kepala jurusan ekonomi, Bu Linda. Rahma, dia bukan anak orang penting di kampus ini. Tapi dia adalah assdos-nya Pak Luthfi. Dan dengan sekali ngadu aja, Pak Luthfi bisa nggak lulusin makul filosofi hukum lu, Berry. Kalo Betty, siap-siap pasang kuping ya. Dia ini putri sulungnya pak rektor kita yang terhormat, Pak Makhsum. Bukan anak angkat, bukan anak tiri, tapi anak kandung,” penjelasan Vonny berikutnya benar-benar membuat jantung keempat pemuda ini serasa ingin melompat dari tempatnya.
“Jadi, siapa duluan yang pengen kita cium? Atau mungkin digrepe-grepe dulu?” sambung Selly dengan seringaian terangkernya.
AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA ............
Tanpa aba-aba keempat pemuda itu lari tunggang langgang menyelamatkan harga diri dan segenap rasa malu yang muncul tak terkendali. Hanya dalam waktu kurang dari empat jam, agenda mingguan genk Karung pun hancur lebur menyisakan kesan yang tak terlupakan seumur hidup mereka.
∞∞∞
Tiga puluh menit sebelumnya ....
“Gue ditembak Ato di perpustakaan tadi. Gue udah ngira dia cuma pura-pura menjatuhkan buku. Hahh ... Kalo lu gimana, Bet?”
“Lodi sok-sok an ngirimin gue memo. Karena pengen tau ya gue dateng aja ke tempat yang ia bilang. Ternyata mau nembak gue.”
“Kalian tau nggak apa yang Berry lakuin tadi? Bener-bener konyol. Nembak gue di depan anak-anak waktu di kelas. Dia pikir dia tu Romeo apa? Gila tu anak.”
“Terus si Vonny mana nih? Katanya dia mau cari tau sebenernya apa yang terjadi. Nggak ada angin nggak ada hujan tiba-tiba nembak kita. Kurang kerjaan banget,”
Dengan terengah-engah Vonny pun menghampiri teman-temannya. Dia menceritakan semua informasi yang ia peroleh dari seluruh penghuni kampus bahwa genk Karung sedang mengadakan taruhan untuk memacari cewek yang dianggap paling jelek. Tapi Vonny tidak mendapat informasi tentang taruhan apa yang dilancarkan keempat pemuda tengik itu.
“Baiklah, kita beri mereka pelajaran. Seenaknya nganggep kita paling jelek. Dipikirnya mereka itu titisannya Brad Pitt apa? Cih, mimpi kali,” ujar Selly dengan penuh emosi.
“Kita cincang mereka!”
“Kita telan hidup-hidup!”
“Jangan sisakan secuil pun kulit ari mereka!”
“Ayooo...!!!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar