Seseorang
berkeluh kesah kepada saya betapa ia tidak tahan berada di tempat kerjanya
sendiri. Wanita yang pada tahun ini menginjak usia ke dua puluh lima tahun ini
begitu emosional saat menceritakan perselisihannya dengan seorang rekan kerja
yang juga wanita. Dari penuturannya, sebenarnya ia sendiri tidak mengerti apa
yang menyebabkan sang rekan membenci bahkan menyerangnya secara verbal saat jam
kerja.
Konflik
di tempat kerja bukanlah suatu hal yang luar biasa karena hampir setiap orang
pernah atau sedang mengalaminya, baik konflik dengan rekan sendiri maupun
dengan atasan. Sudah jelas bahwa munculnya konflik dapat disebabkan
perbedaan-perbedaan seperti kepentingan, pendirian, atau latar belakang budaya.
Perbedaan kepentingan tampaknya lebih banyak menjadi faktor utama tersulutnya
konflik antarteman kerja.
Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses
sosial di antara dua orang atau lebih yang berusaha menyingkirkan pihak lain
dengan jalan menghancurkan atau membuatnya tidak berdaya. Konflik bisa terjadi
ketika dua orang atau lebih melakukan interaksi sosial, yang di dalamnya
terjadi kontak dan komunikasi sosial. Ralph Dahrendorf mengungkapkan bahwa
masyarakat memiliki dua wajah, yakni konflik dan konsensus.
Pada kasus yang dialami teman saya di atas, konflik lebih
disebabkan oleh faktor yang bersifat pribadi seperti rasa tidak suka. Dalam sosiologi,
perilaku demikian sebenarnya tergolong dalam kontravensi, yaitu suatu
sikap/perilaku yang berada di antara konflik dan kompetisi. Kontravensi dapat
ditunjukkan dengan perasaan tidak suka (terang-terangan atau tersembunyi),
menekan individu lain, menyindir, dan lain-lain.
Bentuk lain dari konflik di lingkungan kerja diantaranya
konflik antara atasan dengan bawahan, antara bagian personalia dengan karyawan,
dan lain-lain. Konflik-konflik tersebut
dapat dilatarbelakangi oleh berikut ini.
1. Saling
Ketergantungan Tugas;
Sistem kerja
yang didesain dengan mengabaikan otorisasi dan pendelegasian wewenang rentan
terhadap konflik organisasi, pada dasarnya setiap unit dalam organisasi
menginginkan otonomi dalam setiap pekerjaan, dengan pola otokratis birokratis
memungkinkan timbulnya kejenuhan pada anggota organisasi karena pekerjaan harus
diselesaikan dengan keterlibatan orang lain dan ini merupakan konflik yang
disfungsional.
2. Perbedaan
tujuan dan Prioritas
Antara Organisasi
dan Individu mempunyai perbedaan tujuan yang mendasar, individu ingin kondisi
kerja yang baik dengan penghasilan yang baik namun organisasi menginginkan
kinerja yang maksimal dan salery yang disesuaikan, disamping itu antar individu
juga mempunyai keragaman tujuan. Perbedaan prioritas yang diberlakukan dalam
organisasi juga rentan terhadap konflik, perbedaan persepsi tentang skala
prioritas ini terjadi karena perbedaan potensi dan sistem.
3. Faktor
Birokratik
Walapun dalam
teori Organisasi dinyatakan bahwa organisasi yang ideal adalah birokrasi
sebagaimana konsep Max Weber, namun pola hirarkhis yang diajarkan dalam
birokrasi rentan terhadap timbulnya konflik, birokrat yang monoton sebenarnya
sama dengan otoriter tanpa pendelegasian wewenang hal ini yang mengakibatkan
staff pada level pelaksana jenuh dan menginginkan perubahan, lahirnya keinginan
perubahan dilanjutkan dengan tindakan – tindakan kearah tersebut maka dalam
organisasi tersebut sudah tercipta konflik.
4. Persaingan
terhadap sumber daya yang langka
Tidak semua
organisasi dapat memenuhi kebutuhan sumberdayanya secara menyeluruh, keadaan
itu secara signifikan akan melahirkan perebutan dan kompetisi antar anggota
organisasi, sebagai contoh pada sebuah dinas mendapat satu jatah sepeda motor,
maka kehadiran satu sepeda motor tersebut akan dijadikan rebutan bagi seluruh
angota organisasi.
Lalu, apakah konflik yang terjadi dalam lingkungan kerja akan
berpengaruh terhadap kinerja seorang individu? Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa tinggi rendahnya tingkat konflik secara langsung dapat
dijadikan ukuran pengaruh terhadap prestasi kerja. Pada tingkat konflik yang
rendah atau tidak ada sama sekali maka prestasi kerja akan rendah karena
organisasi apatis, stagnan dengan kurangnya ide – ide baru atau miskin inovasi,
selanjutnya pada tingkat konflik yang optimal dilihat dari banyaknya inovasi
dan kreatifitas maka secara nyata konflik yang timbul akibat lahirnya hal
tersebut adalah dapat meningkatkan prestasi kerja. Ada kondisi dimana inovasi
semakin banyak, kretivitas juga meningkat tetapi tidak ada koordinasi tidak ada
kepedulian manajer maka konflik yang lahir akan berpengaruh negatif terhadap
organisasi.
Bagaimanapun tingkat stres yang kita alami di tempat kerja, tindakan atau sikap paling baik adalah tetap menjaga interaksi sosial dengan sesama rekan kerja. Sikap demikian akan membantu dalam menciptakan kondusivitas lingkungan kerja sehingga tidak berpengaruh terhadap kinerja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar