Selasa, 22 Oktober 2013

Konflik dengan Rekan Kerja




         Seseorang berkeluh kesah kepada saya betapa ia tidak tahan berada di tempat kerjanya sendiri. Wanita yang pada tahun ini menginjak usia ke dua puluh lima tahun ini begitu emosional saat menceritakan perselisihannya dengan seorang rekan kerja yang juga wanita. Dari penuturannya, sebenarnya ia sendiri tidak mengerti apa yang menyebabkan sang rekan membenci bahkan menyerangnya secara verbal saat jam kerja. 

        Konflik di tempat kerja bukanlah suatu hal yang luar biasa karena hampir setiap orang pernah atau sedang mengalaminya, baik konflik dengan rekan sendiri maupun dengan atasan. Sudah jelas bahwa munculnya konflik dapat disebabkan perbedaan-perbedaan seperti kepentingan, pendirian, atau latar belakang budaya. Perbedaan kepentingan tampaknya lebih banyak menjadi faktor utama tersulutnya konflik antarteman kerja.

        Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial di antara dua orang atau lebih yang berusaha menyingkirkan pihak lain dengan jalan menghancurkan atau membuatnya tidak berdaya. Konflik bisa terjadi ketika dua orang atau lebih melakukan interaksi sosial, yang di dalamnya terjadi kontak dan komunikasi sosial. Ralph Dahrendorf mengungkapkan bahwa masyarakat memiliki dua wajah, yakni konflik dan konsensus. 

       Pada kasus yang dialami teman saya di atas, konflik lebih disebabkan oleh faktor yang bersifat pribadi seperti rasa tidak suka. Dalam sosiologi, perilaku demikian sebenarnya tergolong dalam kontravensi, yaitu suatu sikap/perilaku yang berada di antara konflik dan kompetisi. Kontravensi dapat ditunjukkan dengan perasaan tidak suka (terang-terangan atau tersembunyi), menekan individu lain, menyindir, dan lain-lain. 

       Bentuk lain dari konflik di lingkungan kerja diantaranya konflik antara atasan dengan bawahan, antara bagian personalia dengan karyawan, dan lain-lain.  Konflik-konflik tersebut dapat dilatarbelakangi oleh berikut ini.

1. Saling Ketergantungan Tugas;
Sistem kerja yang didesain dengan mengabaikan otorisasi dan pendelegasian wewenang rentan terhadap konflik organisasi, pada dasarnya setiap unit dalam organisasi menginginkan otonomi dalam setiap pekerjaan, dengan pola otokratis birokratis memungkinkan timbulnya kejenuhan pada anggota organisasi karena pekerjaan harus diselesaikan dengan keterlibatan orang lain dan ini merupakan konflik yang disfungsional.
2. Perbedaan tujuan dan Prioritas
Antara Organisasi dan Individu mempunyai perbedaan tujuan yang mendasar, individu ingin kondisi kerja yang baik dengan penghasilan yang baik namun organisasi menginginkan kinerja yang maksimal dan salery yang disesuaikan, disamping itu antar individu juga mempunyai keragaman tujuan. Perbedaan prioritas yang diberlakukan dalam organisasi juga rentan terhadap konflik, perbedaan persepsi tentang skala prioritas ini terjadi karena perbedaan potensi dan sistem.
3. Faktor Birokratik
Walapun dalam teori Organisasi dinyatakan bahwa organisasi yang ideal adalah birokrasi sebagaimana konsep Max Weber, namun pola hirarkhis yang diajarkan dalam birokrasi rentan terhadap timbulnya konflik, birokrat yang monoton sebenarnya sama dengan otoriter tanpa pendelegasian wewenang hal ini yang mengakibatkan staff pada level pelaksana jenuh dan menginginkan perubahan, lahirnya keinginan perubahan dilanjutkan dengan tindakan – tindakan kearah tersebut maka dalam organisasi tersebut sudah tercipta konflik.
4. Persaingan terhadap sumber daya yang langka
Tidak semua organisasi dapat memenuhi kebutuhan sumberdayanya secara menyeluruh, keadaan itu secara signifikan akan melahirkan perebutan dan kompetisi antar anggota organisasi, sebagai contoh pada sebuah dinas mendapat satu jatah sepeda motor, maka kehadiran satu sepeda motor tersebut akan dijadikan rebutan bagi seluruh angota organisasi.

        Lalu, apakah konflik yang terjadi dalam lingkungan kerja akan berpengaruh terhadap kinerja seorang individu? Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tinggi rendahnya tingkat konflik secara langsung dapat dijadikan ukuran pengaruh terhadap prestasi kerja. Pada tingkat konflik yang rendah atau tidak ada sama sekali maka prestasi kerja akan rendah karena organisasi apatis, stagnan dengan kurangnya ide – ide baru atau miskin inovasi, selanjutnya pada tingkat konflik yang optimal dilihat dari banyaknya inovasi dan kreatifitas maka secara nyata konflik yang timbul akibat lahirnya hal tersebut adalah dapat meningkatkan prestasi kerja. Ada kondisi dimana inovasi semakin banyak, kretivitas juga meningkat tetapi tidak ada koordinasi tidak ada kepedulian manajer maka konflik yang lahir akan berpengaruh negatif terhadap organisasi.
       Bagaimanapun tingkat stres yang kita alami di tempat kerja, tindakan atau sikap paling baik adalah tetap menjaga interaksi sosial dengan sesama rekan kerja. Sikap demikian akan membantu dalam menciptakan kondusivitas lingkungan kerja sehingga tidak berpengaruh terhadap kinerja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar